Senin, 06 Juni 2011

sikap kita terhadap pancasila

Pancasila Masih Pro-Kontra, Bagaimana Sikap Kita?

 
Selasa, 07 Juni 2011
Oleh: Kholili Hasib

SEJAK bergulir Orde Reformasi hingga kini, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia masih mengundang pro dan kontra. Setelah diperingati pada 1 Juni kemarin, demam diskusi Pancasila kini cukup tinggi. KH. Cholil Ridwan, Lc, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, Pancasila hanyalah sebagai kendaraan sementara, bukan tujuan utama.

Dr. Adian Husaini, MA, dalam bukunya, “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (Jakarta: GIP, 2010) mengatakan, yang terpenting saat ini mendudukkan Pancasila secara tepat dan proporsional. Menurutnya, Pancasila sesungguhnya bukan pandangan hidup Islam, makanya perlu ditafsir secara Islam seperti yang diinginkan perumusnya.

Bagi sebagian kalangan, ideologi Pancasila adalah suatu keniscayaan. Apalagi ketika ancaman disintegrasi sering mencuat paska reformasi. Ideologi ini dapat menjadi ideologi pemersatu bangsa yang beraneka ragam suku, kepercayaan dan agama. Dalam konteks ber-Indonesia, lahirnya landasan negara (Pancasila) yang diperingati pada setiap 1 Juni adalah medium penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi.

Roeslan Abdulgani (1976), pernah mengatakan bahwa secara politis Pancasila merupakan lambang rekonsiliasi nasional. Sedangkan arus sentral rekonsiliasi itu menurut Roeslan adalah nasionalisme. “Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa”, kata Roeslan.

Kontroversi Ideologi Pancasila

Akan tetapi, ideologi Pancasila, pasca reformasi, memancing pro-kontra dalam internal umat Islam. Gus Dur pernah memaknai Pancasila secara pluralis. Tiga tahun silam dalam acara Talk Show di Antv (02/06/2008) Gus Dur pernah menegaskan bahwa nilai-nilai kebhinekaan, toleransi dan pluralisme adalah esensi dari Pancasila. Tapi bila pluralisme itu dimaksudkan, berarti itu adalah fenomena keaneka ragaman. Maka ia sebenarnya salah mendefinisikan, sebab keanekaragaman itu bukan pluralisme tapi pluralitas di mana hal itu tidak masalah bagi Islam.

Bagi aktivis Islam Liberal, Pancasila memang ditumpangi sebagai pintu masuk ide-ide sekularisme dan pluralisme. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, kata aktivis liberal bukan bermakna Tauhid, tapi sekuler. Seperti dalam buku “Esai-Esai Pemikiran Moh.Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis” (halaman.180), secara filosofis mengandung kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu tidak terkait dengan campur tangan Negara.
Dalam pandangan Shofan, sila-sila Pancasila secara eksplisit melihat agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan Negara. Tugas Negara hanya memfasilitasi pemeluk agama dan memberi jaminan keamanan menjalankan agama. Jelas tampak bahwa pemikiran Shofan akan menggiring agama kepada ruang yang lebih sempit yaitu ruang privat, nilai-nilai agama boleh saja masuk ruang publik, namun dengan syarat nilai moral religi yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pandangan ini sama dengan Jose Casanova yang mempopulerkan istilah deprivatisasi agama.

Piagam Jakarta

Semangat mengegolkan nilai-nilai sekularisme ini sebenarnya tidak hanya diaktivkan pada saat ini, pada awal-awal penetapan Pancasila sebagai asas Negara juga terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dengan Islam. Kegagalan memasukkan tujuh kata dalam sila pertama, merupakan awal kesuksesan kaum sekuler di Indonesia. Pada saat persiapan kemerdekaan, terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dangan Islam tentang asas negara. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada 22 Juni 1945 semua pihak sepakat terhadap Dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Poin penting bagi umat Islam dalam Piagam Jakarta tersebut adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Usai kesepakatan Soekarno mengatakan "Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama".

Namun, meski telah disepakati, Lathuharhary tokoh dari pihak Kristen mengkritik sila pertama tersebut dan mengusulkan agar diganti karena akan merugikan pihak Kristen dan kaum adat. KH. Wachid Hasjim, tokoh NU, dan H. Agus Salim membantah bahwa tidak akan ada yang dirugikan karena syariat itu hanya untuk umat Islam saja. Bahkan Soekarno, yang Nasionalis, menanggapi bahwa Piagam Jakarta tersebut adalah hasil jerih payah semua pihak untuk menghilangkan perselisihan faham.

Akan tetapi, Piagam Jakarta yang telah menjadi kesepakatan antara golongan nasionalis-sekuler dengan Islam tidak berumur panjang. Secara mendadak Bung Hatta mengusulkan tujuh kata (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus karena ada ancaman dari pihak Kristen bahwa Indonesia Timur akan melepaskan diri dari NKRI jika tujuh kata itu ditetapkan. Akhirnya pada 18 Agustus tujuh kata tersdbut dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di sini jelas pihak Islam dikhianati. Dan belakangan diketahui bahwa cerita Bung Hatta tentang ancaman disintegrasi dari Indonesia Timur tersebut tidak dapat dibuktikan dalam sejarah. Peneliti muslim mencurigai bahwa semua itu adalah konspirasi Belanda untuk menekan kekuatan Islam di Indonsia. Apakah pihak Kristen-Sekuler berhenti sampai di sini? ternyata tidak. M. Natsir memperingatkan bahwa meski tujuh kata dalam sila pertama digugurkan, kaum Kristen-Sekuler tidak puas. Setelah pemilu pertama (1955) bidang Legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama Islam.

Kegagalan pihak Islam tersebut membuka peluang kaum sekuler untuk memasukkan ide-idenya dalam negara Indonesia. Imbasnya dapat dirasakan oleh umat Islam pada saat ini. Pada zaman Orde Baru, mantan Presiden Soeharto, mencanangkan asas tunggal Pancasila bagi setiap ormas dan organisasi partai politik. Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan hidup seperti dipaksakan kepada rakyat Indonesia. Umat Islam pada masa itu tertekan, kasus Jilban dan pembantaian umat Islam terjadi pada zaman tersebut. Sementara pihak Kristen-Sekuler terus membayangi pemerintahan.

Pemahaman Pancasila cukup terasa menggiring bangsa Indonesia pada nilai-nilai sekuler dan pluralis. Penulis masih ingat ketika duduk di SMU, para murid diajari nilai moral Pancasila yang diantaranya menyatakan bahwa hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan. Akibat dari pernyataan tersebut, dalam diri siswa tertanan pemahaman bahwa kelima agama di Indonesia adalah sama – yaitu sama-sama mengajarkan kebaikan. Sila pertama sebenarnya juga bermasalah, di dalam dunia pendiikan Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak pernah dijelaskan Tuhan yang mana? Dari segi kata memang itu tampak sesuai dengan Tauhid. Yang menjadi masalah adalah yang dimaksud Ketuhanan itu adalah Tuhan yang fleksibel yang diterima oleh semua kalangan dan kepercayaan.
Bingkai Islam
Menyikapi ideologi Pancasila seperti sekarang, pernyataan M. Natsir cukup menarik. "Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam" kata Natsir. Bukan berarti Pancasila sudah mewakili seluruh ajaran Islam, ia hanya sebagian kecil dari sekian banyak ajaran Islam. Sejak dihapuskannya tujuh kata dalam sila pertama, Pancasila telah kehilangan ruh Islamnya, disebabkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya telah diganti. Dan Pancasila dengan konsepnya seperti sekarang telah mengakar kuat.
Oleh karena itu yang bisa dilakukan umat Islam saat ini adalah mengislamkan Pancasila. Tidak ada yang salah jika tujuh kata itu dimasukkan kembali dalam Pancasila. Sebab, Piagam Jakarta – yang didalamnya memuat tujuh kata – memiliki landasan historis. Disamping pengembalian Piagam Jakarta, Pancasila sudah saatnya ditafsir secara Islami.
Hingga saat ini yang mendominasi tafsir Pancasila adalah kelompok-kelompok negarawan sekuler. Akibatnya, Pancasila menjadi tersekulerkan. Padahal yang diinginkan para perumus dari kelompok Islam (KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim) tidak bermaksud merumuskan konsep Pancasila yang sekuler, namun beliau ingin membentengi Pancasila dari interfensi kelompok-kelompok nasionalis-sekuler.
Wajar sekali bila kita teliti ternyata KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim berusaha sekuat, tenaga di tengah perdebatan hebat dengan kelompok sekuler, memasukkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila. Setelah gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara, maka jalan satu-satunya bagi Agus Salim dan Wachid Hasyim adalah mengemas Pancasila dengan kemasan yang bermuatan nilai-nilai Islam.
Kenyataannya memang, hanya Islam yang bisa menafsir Pancasila dengan baik. Sila satu misalnya yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Untuk mengetahui Tuhan yang mana dalam sila satu tersebut, dapat dirujuk pada pembukaan UUD '45 yang berbunyi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.....". Maka Tuhan yang dimaksud dalam sila satu tersebut adalah Allah. Begitu pula sila-sila selanjutnya, jika diteliti terdapat kalimat/kata yang berasal dari konsep Islam. Contoh "adil dan beradab" (sila ke-2), kata adab adalah konsep Islam. Dalam agama-agama lain tidak mempunyai konsep adab. Contoh lain sila ke-4 terdapat kata musyawarah. Bila diamati sila ke-4 ini tampak bertolak belakang dengan demokrasi. Sebab jelas-jelas sila tersebut menyebut musyawarah (dalam Islam disebut syuro) bukan demokrasi.
Demokrasi jelas beda dengan syuro. Memang para perumus Pancasila – yang di antaranya terdiri dari beberapa Kiai – ingin dasar negara Indonesia lebih Islami tidak tercampur dengan ide-ide sekuler seperti sekarang ini. Maka tugas kita, dalam posisi umat Islam seperti sekarang ada dua, pertama membuang penafsiran yang sekuler, dan yang kedua mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, sebab itu adalah hak umat Islam Indonesia yang legal.
Penulis Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah

Red: Cholis Akbar

Selasa, 31 Mei 2011

islam dan pancasila

Pancasila dalam Doktrin Zionisme dan Freemasonry

Selasa, 31/05/2011 13:18 WIB | email | print

Gerakan Zionisme dan Freemasonry di seluruh dunia sesungguhnya memiliki asas yang sama. Asas dari dua gerakan ini disebut “Khams Qanun”, lima sila, atau Panca Sila. Kelima Sila itu adalah:
1. Monotheisme
2. Nasionalisme
3. Humanisme
4. Demokrasi
5. Sosialisme
Penjelasan tentang lima sila yang terdapat dalam doktrin Yahudi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Monotheisme: Kesatuan Tuhan (Ketuhanan yang Maha Esa)
Hendaklah bangsa Yahudi bertuhan dengan Tuhannya masingmasing dan merupakan kesatuan gerak. Maka hai orang-orang atheis dan bebas agama di kalangan bangsa Yahudi hendaklah engkau pun bertuhan dengan tuhanmu sendiri bukankah alam pun tuhanmu dan bukankah kudrat alam pun tuhanmu juga? Kalian berlainan agama, kalian berlainan kepercayaan, kalian berlainan keyakinan, tetapi kalian harus bersatu dan gunung zionisme telah menan-timu. Hendaklah kalian tenggang menenggang, hormat menghormati hai Yahudi seluruh dunia!
2. Nasionalisme - Kebangsaan : Berbangsa satu bangsa Yahudi, berbahasa satu bahasa Yahudi dan bertanah air satu tanah air Yahudi Raya (Israel Raya).
3. Humanisme: Kemanusiaan yang adil dan beradab berlakulah, janganlah kalian menjadi peniru bangsa Babilon yang telah membuangmu, tetapi bagi luar bangsamu dan yang hendak membinasakanmu, kalian adalah bangsa besar dan engkau pun jika keperluanmu mendesak.
Ber-lakulah Syer Talmud baginya, seperti nyanyian Qaballa berbunyi:
“Taklukanlah mereka,binasakanlah mereka akan mengambil hakmu, engkau adalah setinggi-tinggi bangsa seumpama menara yang tinggi. Gunakanlah hatimu ketika menghadapi sauda-ramu, karena mereka itu keturunan Yaqub, keturunan Israel. Buanglah hatimu ketika menghadapi lawanmu karena mereka itu bukan sekali-kali saudaramu, mereka adalah kambing-kambing perahan dan harta mereka adalah hartamu, rumah mereka adalah rumahmu, tanah mereka adalah tanahmu”, (Syer Talmud Qaballa XI :45).
4. Sosialisme: Keadilan sosial yang merata pada masyarakat Yahudi, sehingga setiap orang Yahudi menjadi seorang kaya raya dan menjadi pimpinan dimana pun ia berada, dan menjadi protokol pembuat program. Dalam Nyanyian Qaballa Talmud dikatakan:
“Dengan uang kamu dapat kembali ke Yudea, ke Israel karena agama itu tegak dengan uang dan agama itu uang, sesungguhnya wajah Yahwe sendiri yang tampak olehmu itu adalah uang! Cintailah Zion, cintailah Hebran, cintailah akan Yudea dan cintailah seluruh tanah pemukiman Israel, karena engkaulah bangsa pemegang wasiat Hebran tertua yang berbunyi: ”Cinta pada tanah air itu sebagian dari iman!” (XL : 46).
5. Demokrasi: Dengan cahaya Talmud dan Masna dan segala ucapan imam-imam agung bahwa telah diundangkan “Bermusyawarahlah dan berapatlah dan berlakulah pilihan kehendak suara banyak itu karena suara banyak adalah suara
Tuhan!”
Asas Zionisme atau Khams Qanun:
1. Internasionalisme
2. Nasionalisme
3. Sosialisme
4. Monotheisme Cultural
5. Demokrasi
Asas Freemasonry dan Zionisme pada dasarnya sama, yang berbeda hanya urutan saja. Keduanya diilhami oleh ajaran Talmud, kitab suci agama Yahudi?
Pengaruh Doktrin Zionisme dan Freemasonry terhadap Pemikiran Tokoh Pergerakan di Eropa dan Asia
Gerakan Zionisme yang diemban dengan baik oleh gerakan Freemasonry, telah berhasil meng-garap korban-korbannya, baik di Eropa maupun di Asia. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Perancis dan di negara-negara Asia Tenggara. Freemasonry Perancis pada 1717 M berasaskan Plotisma.
Istilah Plotis merupakan istilah khas mereka yang disebutkan berasal dari dialek Yunani Koin. Plot berarti ambang atau terapung. Plotisma adalah suatu paham untuk mengambangkan segala ajaran di luar Freemasonry.
Jika telah mengambang disuntikkanlah paham-paham bebas dari Freemasonry itu. Freemasonry Perancis pada 1717 M itu terpaksa memasukkan kata-kata “Ketuhanan” dan “Triko-nitas” untuk menarik simpatik golongan Katolik.
Lima dasar dari Freemasonry Perancis:
1. Nasionalisme
2. Sosialisme
3. Demokrasi
4. Humanisme
5. Theologi Kultural.
“Hai saudara-saudaraku dengan plotisme kita pun mendapat kunci pembuka seribu pintu kemenangan, dengan plotisme kita mempunyai seribu kunci etika pergaulan.” (Siasah Masuniyah muka 43).
Dalam dasar Freemasonry Italia terdapat perbedaan sedikit:
1. Nasionalisme
2. Trinitas
3. Humanitas
4. Sosialisme
5. Demokrasi.
Dalam dasar Freemasonry Palestina terdapat sedikit perbedaan pula:
1. Nasionalisme
2. Monotheisme
3. Humanisme
4. Sosialisme
5. Demokrasi
Pandit Jawarhal Nehru pernah mempunyai gagasan dasar negara India merdeka, yang dibahas di depan Indian Kongres Panc Svila:
1. Nasionalisme
2. Humanisme
3. Demokrasi
4. Religius
5. Sosialisme
Bandingkan dengan San Min Chu I dari Sun Yat Sen:
1. Mintsu
2. Min Chuan
3. Min Sheng
4. Nasionalisme, Demokrasi dan Sosialisme
Bandingkan dengan lima asas dari Muhamad Yamin, yaitu:
1. Perikebangsaan
2. Perikemanusiaan
3. Periketuhanan
4. Perikerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat
Bandingkan dengan lima asas dari Soepomo:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan lahir batin
4. MusyawarahKeadilan rakyat
Bandingkan dengan lima asas dari Soekarno:
1. Nasionalisme (Kebangsaan)
2. Internasionalisme (Kemanusiaan)
3. Demokrasi (Mufakat)
4. Sosialisme
5. Ketuhanan
Bandingkan dengan lima asas Aquinaldo, pimpinan Nasionalis Filipina. Lima asas ini disebut asas yang lima dari gerakan Katipunan. Sesungguhnya lima asas Katipunan ini disusun oleh Andres Bonifacio 1893 Masehi:
1. Nasionalisme
2. Demokrasi
3. Ketuhanan
4. Sosialisme
5. Humanisme Filipina
Bandingkan dengan empat asas Pridi Banoyong dari Thailand pada 1932 M:
1. Nasionalisme
2. Demokrasi
3. Sosialisme
4. Religius
Prinsip indoktrinasi Zionisme, agaknya cukup fleksibel karena mampu beradaptasi dengan pola pikir pimpinan politik di setiap negara. Mengenai urut-urutannya boleh saja berbeda, tetapi prinsipnya tetap sama, mengacu kepada doktrin baku Zionisme.
**
Sumber: Buku 'Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila': "Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers RI. Editor: Muhamad Thalib dan Irfan Awwas". Penyusun: Rinaldi

islam

Berahlaq Yang Baik Dimanapun!

 
Senin, 30 Mei 2011
DALAM kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri. Ia pasti butuh pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan masalah ini, sifatnya ada yang langgeng dan tidak. Sebuah persaudaraan bisa langgeng jika didasari oleh keinginan untuk mencari ridha Allah. Sebaliknya, ia tidak akan bisa langgeng jika dasarnya bukan karena mencari ridha Allah.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sewaktu ada kepentingannya saja. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Misalkan seseorang senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun tidak mau.
Hal-hal seperti itu semestinya tidak terjadi pada diri seorang Muslim. Sebab Islam telah memberi tuntunan yang jelas tata cara bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang paling penting yang diajarkan oleh Islam yaitu hendaknya setiap Muslim dalam melakukan pergaulan didasari oleh niat mencari ridha Allah.
Ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena senyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang Muslim membantu,  maka hendaknya diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah.
Al-Imam Ibn Qayyim menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma'ad juz ke-4 hal 249 : "Di antara kecintaan terhadap sesama Muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya. Bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut. Atau  untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. Atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena itu sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu kepentingan, ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam  Majmu'Fatawa juz  10, beliau berkata: "Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk  mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya  hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah  berbuat baik.Apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian.
Maka kecintaan demikian bukan karena Allah. Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang  siapa yang mengatakan: "saya cinta kepadanya karena Allah", maka dia  pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu.
Karena pada hakekatnya dia mencintai  orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar terhindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan  yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan  memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan  terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan."
Ucapan Ibn Taimiyah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat  Az-Zukhruf 67, yang artinya: "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa."
Dari keterangan ini jelaslah bahwa hanya orang-orang bertakwa yang persahabatannya  akan langgeng sampai di alam  akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti akan menjadi musuh satu sama lain.
Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan  duniawi. Yaitu berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi  Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam atau tidak.
Sedang orang yang bertakwa dalam pergaulannya tentu didasari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah sebagai uswah bagi kaum Muslimin telah telah memberikan tuntunan bagaimana adab-adab bergaul. Perkara tersebut merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam.
Berusaha Mengamalkan
Di antara bentuk adab bergaul yang dicontohkan Rasulullah, yaitu mengucapkan salam terlebih dulu, bertutur kata yang baik, menanyakan kabar, menengok orang sakit, memberi hadiah dan sebagainya.  Dengan melaksanakan adab-adab tersebut, kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat di antara umat Islam. Ukhuwah yang kokoh yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman yang artinya:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan  nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di  tepi  jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat  petunjuk."  [Al-Imran : 103]

Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu  dipelajari untuk  kita amalkan. Di antaranya kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orangtua, adab terhadap saudara, adab terhadap istri, adab seorang istri  terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan.
Dengan melaksanakan adab-adab tersebut insya-Allah kita akan dicintai Allah Yang Maha Pengasih. Karena di antara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, "Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia." Lalu  Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia. "Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi." [Hadits Bukhari dan Muslim)
Di antara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, di antaranya ia mencintai mereka karena Allah, berahlak kepada manusia dengan ahlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia. Dalam al Qur'an Allah berfirman yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik". [Ali-Imran: 134]
Rasulullah Saw bersabda yang artinya, "Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia dengan ahlak yang baik." [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan].* BU

Rabu, 04 Mei 2011

Siapa NII

Isu NII dan Sikap Hipokrit Penguasa

 
Kamis, 05 Mei 2011
Oleh: Harits Abu Ulya
DALAM sepekan lebih, isu NII (Negara Islam Indonesia) menjadi buah bibir di media elektronik maupun cetak. Banyak kalangan mendiskusikan dan memberikan penilaian, sikap dan tawaran solusi. Pro-kontra; Pemerintah terkesan  tidak tegas  bahkan  ambivalen, kemudian justru menggiring opini kearah perlunya pemerintah memiliki seperangkat regulasi RUU Intelijen.

Banyak pihak yang menuding pemerintah seolah menutup mata, melakukan pembiaran dan menganggap enteng gerakan NII. Sikap ini beralasan, karena melihat pemerintah seperti yang di ungkapkan Menko Polhukam RI DJoko Suyanto; NII belum bisa dianggap makar karena baru bersifat mengajak orang untuk mengikuti jalan mereka. “Kalau hanya menghimbau dan meminta untuk mengikuti NII, kan tidak bisa dikatakan menggangu kedaulatan negara,” ujar Djoko di sebuah media. Karenanya, beliau  meminta  agar media tidak membesar-besarkan masalah NII.

Di kesempatan yang berbeda Djoko kembali menegaskan pernyataannya bahwa NII belum menjadi ancaman Nasional. Dalihnya karena NII belum merupakan gerakan yang bersifat massif, (Media Indonesia, 2/5/2011).
Sementara mayoritas Umat Islam Indonesia  mempersoalkan eksistensi NII, alasan mendasarnya adalah adanya penyimpangan-penyimpangan menyangkut akidah, pokok-pokok syariat dan terjadinya tindakan kriminal yang dilakukan secara terorganisir.

NII KW IX bukan DI/TII Kartosoewiryo

Isu NII yang muncul sebenarnya lebih fokus mengarah kepada kelompok NII KW IX yang ditengarai pemimpinya adalah Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias Syamsul Alam dengan julukan atau gelar Syekh Panji Gumilang. Jika dilacak akar embrionalnya tentu tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII  (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dibawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Sebuah sikap anak bangsa di awal kemerdekaan Indonesia, yang merasa tidak terakomodir kepentingan dan visi politiknya dalam format dan sistem yang dibangun untuk kehidupan sosial politik negara Indonesia. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu sendiri, karena faktanya  dalam banyak aspek yang dikembangkan oleh KW IX tidak dan bukan aspek (visi dan misinya) murni seperti yang pernah di perjuangkan oleh DI/TII Kartosoewiryo.

Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah (KW), sejak Juli 1962 secara organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX.   Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.

Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII, melalui Adah Jailani.  Lalu di bentuk komandemen baru yaitu KW VIII untuk wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar.  Lalu dia digantikan oleh Abu Karim Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini.
Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992, lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim.  Sejak tahun 1993, KW IX membangun struktur dibawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang sebelumnya tidak pernah diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo.  NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari penelitian MUI tahun 2002 ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-Zaytun (MAZ) dan organisasi NII KW IX.

Tidak keliru kalau sebagian pihak menyatakan, bahwa orang-orang NII KW IX adalah mereka yang mencari uang dengan menjual nama NII atau berkedok perjuangan agama yang telah didesain “kelompok tertentu” bahkan banyak diisukan telah dipelihara intelijen untuk mendelegitimasi Islam.
Cita-cita NII yang sekarang, lebih tepat menjadi tameng dari sebuah kriminalitas terorganisir bahkan disinyalir melibakan instrument  kekuasaan (intelijen negara).
Lihat saja, dalam masalah akidah dan syariat terungkap banyak doktrin NII yang sekarang (lebih tepat disebut NII Gadungan) ini sarat akan penyimpangan;
Pertama, Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kepentingan organisasi, Kedua, membagi shalat menjadi dua, shalat ritual dan shalat universal, Ketiga, merubah zakat jadi harakah Ramadhan dan harakah Qurban. Keempat, melaksanakan haji ke ibu kota negara (di lembaga mantelnya; ma’had az Zaytun Indramayu -Jabar). Kelima, mengkafirkan orang diluar kelompoknya, Keenam, menyamakan posisi negara dengan Allah, dan para pimpinanya sebagai Rasul. Ketuju, sangat eksklusif dan tertutup. Kedelapan, menghalalkan segala cara untuk meraih target. Tentu doktrin seperti ini akan berdampak kepada penafsiran al-Qur’an dan hadis mengikuti hawa nafsu. Merubah arti dan bentuk ibadah yang sudah pasti (tauqifiyah), melegalisasi segala bentuk kriminalitas dengan al Qur’an.(dari www.nii-crisis-center.com).

Dengan membandingkan hal ini, seharusnya cukup menjadi penjelas bagi masyarakat. Bahwa “NII asli” (saat digagas S.M. Kartosoewirjo) adalah murni bernilai luhur islami. Sedanng sepeninggal beliau sudah ada unsur intelijen (era Ali Mortopo) masuk. Karenanya, tidak salah, jika banyak orang menyebut NII yang sekarang banyak diramaikan itu tak lain adalah “NII Gadungan” yang tak mencerminkan nilai-nilai Islam. Masalahnya, jika NII yang saat ini meresahkan, mengapa terus dipelihara?

Sikap aneh penguasa

Media sudah banyak mengekspos korban tindak pidana dari kelompok NII KW IX ini. Dari berbagai kalangan, masyarakat kecuali dari keluarga Polri dan TNI. Ada banyak laporan kasus penculikan, penipuan, pencurian bahkan sampai tindakan perampokan adalah produk dari kelompok ini. Juga pengaduan korban,  kesaksian mantan anggota NII dan hasil penelitian Balitbang Depag (Februari 2004), MUI (5 oktober 2002) dan temuan Intelkam Mabes Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX.

Tapi toh faktanya yang kuta lihat lain. Yang terkadi, justru pakar teroris, aparat, pengamat justru menyeret isu NII ini ke mana-mana. Sampai-sampai ada yang mengusulkan merobah kurikulum agama, mengawasi kegiatan kegamaan di kampus, menghambat ektrakurikuler di sekolah juga termasuk isu-isu syariat Islam.

Dalam benak umat Islam bergelayut pertanyaan; Pertama; kenapa pemerintah tidak begitu tegas meski jelas banyak fakta dan saksi yang melapor? Kedua, mengapa yang terjadi justru sibuk menyeret kasus ini pada ranah yang berkaitan dengan apapun berbau Islam?

Mari kita lihat. Dalam kasus kriminal perampokan 2010 (Bank CIMB-Medan) tiba-tiba diluncurkan opini bahwa  visi perampokan adalah mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah).dalam kasus terbaru, bom buku yang kemudian hari terungkap motif pelakunya lebih dominan adalah bisnis, pihak BNPT juga “bernyanyi” bahwa mereka adalah kelompok “teroris” dengan misi politik hendak mendirikan Daulah Islam global (Khilafah Islamiyah). Sungguh aneh. Fakta korban “NII gadungan” beserak di depan mata. Namun yang terjadi justru mengembangkan isu syariat global, daulah islamiyah dan segala tetek-mbengek nya.

Sebagai bagian masyarakat kita layak bertanya.Apakah penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII? 

Sebagai bagian masyarakat, kita juga punya kesan. Ada yang menginginkan isu Negara Islam Indonesia (NII) ini dimunculkan agar orang akan takut mendengar namanya. Jadi jangankan ikut gabung, mendengar saja sudah takut. Selanjutnya, isu NII seolah dijadikan alat bahwa gerakan ini sangat berbahaya dan ancaman bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Yang terakhir, isu NII bisa dijadikan “jualan” dan propaganda untuk mengesankan bahwa syariah Islam adalah sebagai ancaman NKRI yang ujungnya menjauhkan umat Islam dari perjuangan penerapan syariah Islam.
Pertanyaan ini sangat wajar. Sebab bukan rahasia lagi, bagaimana gerakan Islam di era 70-an sampai 90-an penuh dengan politisasi pemerintah kita. Banyak buku sejarah mengungkap, kasus Woyla, Komando Jihad (Komji), Gerakan Usroh dll ada unsur intelijen di dalamnya.
Benarkah ada kaitan Al Zaitun sebagai basis NII KW-IX? Benarkan “NII Gadungan” saat ini adalah bagian rekayasa intelijen? semua harus dijawab dan dibuktikan. Jika dugaan itu tidak benar, maka, jawabannnya sederhana saja. Masyarakat sedang menunggu bukti nyata dari pemerintah. Sebab sudah banyak saksi dan ratusan pengadu mantan aktivis “NII Gadungan” bisa dasar awal penyelidikan. Wallahu a’lam.

Penulis pemerhati Kontra-Terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI


Red: Cholis Akbar

Selasa, 03 Mei 2011

bank islam kekuatan islam

Raja Oman Setuju Pendirian Bank Islam

 
Rabu, 04 Mei 2011
Hidayatullah.com--Pemimpin Oman Sultan Qabus bin Said telah memberikan lampu hijau atas rencana pendirian bank Islam di kerajaan itu.

Keputusan ditetapkan dalam rapat dewan menteri yang diketuai Sultan Istana Al-Shumoukh di Mannah hari Senin (02/4).

Kerajaan juga akan memberikan izin kepada bank yang telah berdiri jika mereka ingin memberikan pelayanan bank Islam.

Pendirian bank Islam merupakan salah satu tuntutan rakyat pengunjuk rasa yang melakukan aksi duduk di berbagai tempat sejak akhir Februari lalu.

Untuk menjawab berapa tuntutan rakyatnya, Sultan kemudian melakukan perubahan-perubahan di dewan menteri, menaikkan tunjangan pensiun, pendidikan dan pegawai negeri.*

Selasa, 26 April 2011

la khauf

Antara Khauf dan Raja: Manakah Yang Kita Pilih?

 
Selasa, 26 April 2011
SECARA bahasa Khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut. Secara istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya:
1.    Pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya
2.    Pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan
3.    Mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Adapun raja` secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja' merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah SWT. Raja` juga bisa dimaknai sebagai berprasangka baik kepada Allah karena mengetahui luasnya rahmat dan kasih sayang-Nya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi raja` dalam 3 bagian. Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah raja` yang tercela. Yaitu:
1.    Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahala-Nya
2.    Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
3.    Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
Baik Khauf maupun raja` merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi seimbang. Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Pendek kata, dengan khauf dan raja` seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya, di samping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan.
Kedua sikap di atas harus dimiliki oleh seorang mukmin. Sikap ini menjadi ciri mukmin yang baik yang bisa menempatkan diri kapan ia harus berada pada posisi khauf dan kapan ia mesti berada pada posisi raja`.
Namun, Sayid Alwi bin Abbas Al Maliki menyatakan, “Bagi seorang pemuda ia lebih baik mengutamakan sikap al-khauf sebab nafsu syahwat di masa muda jauh lebih besar yang dikhawatirkan dapat menyeret pada perbuatan buruk jika tidak mengutamakan sikap tersebut.”
Mana yang Kita Utamakan?
Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mendatangi seorang pemuda yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut). Rasul bertanya kepada pemuda ini, “Bagaimana kamu mendapati dirimu?” Pemuda ini menjawab, “Aku mendapati diriku dalam keadaan takut atas dosa-dosa yang aku kerjakan sekaligus mengharapkan rahmat Tuhanku.”
Lantas nabi menjawab, “Tidaklah berkumpul dua perasaan di dalam hati seorang hamba, melainkan Allah berikan apa yang ia harapkan dan memberikan ketentraman dari hal yang khawatirkan.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘manakah yang lebih utama di antara sikap Al-Khauf dan Al-Raja` ? Pertanyaan ini sama seperti pertanyaan, ‘mana yang lebih enak, roti atau air?”
Jawabannya adalah, “Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang hampir senada. “Mana yang lebih utama untuk kita, rasa khauf atau raja`?”
Beliau menjawab, “Ketahuilah, bagi orang yang mempunyai hawa nafsu yang kuat dan mempunyai kecenderungan besar kepada kemaksiatan, maka khauf mesti ditekankan hingga ia kembali ke jalan yang lurus. Namun bagi orang yang akan meninggal, sikap Raja` harus lebih diutamakan agar ia tidak berburuk sangka kepada Allah. Sementara, bagi orang yang sehat raganya, istiqamah di jalan agama Allah, maka baginya yang paling utama adalah kesetaraan di antara sikap Khauf dan Raja` hingga menjadi layaknya dua sayap burung.”

Ali Akbar. Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

Senin, 25 April 2011

Karakter Muslim

Jadilah Pemuda Muslim yang Berkarakter

 
Selasa, 26 April 2011
oleh: Shalih Hasyim
ORANG mengulasnya sebagai  tokoh yang  mengharumkan dunia. Ia bukan saja milik ummat Islam, tetapi panutan kaum Yahudi dan juga Nasrani.  Abul Anbiya, Khalilullah, Ibrahim as.
Para pengamat sejarah purba berbeda pendapat tentang negeri asal Ibrahim (Abun Rahim, Bapak Yang Penyayang, Bhs Arab). Ada yang berpendapat  bahwa Ibrahim berasal dari kawasan masuk daerah Babilon Mesopotamia, diperkirakan 6000 tahun yang lalu. Pengamat sejarah lain bersepakat bahwa bapak pendobrak paham paganisme ini pada akhirnya  menetap di Palestina.
Beliau menetap di sebuah kota kecil bernama Al Khalil, 45 km sebelah barat daya Jerusalem. Kota kecil itu terletak di lambang Jabal Ar Rumaidah, kawasan dikenal sejuk dalam ketinggian 927 meter. Sebenarnya kota kecil itu tidak akan memiliki arti penting dalam lintasan sejarah sekiranya Nabi Ibrahim as. tidak berdiam di sana.
Ibrahim adalah  manusia besar. Untuk mengabadikan keharuman namanya, Allah SWT memberinya gelar Khalilullah atau Khalilur Rahman, artinya Kekasih Allah. Di kalangan orang Barat yang merujuk Bybel menyebutnya: "Abraham The Friend of God" (Ibrahim teman dekatnya Tuhan). Dari gelar ini kemudian menjadi nama kediamannya Al Khalil. Kepustakaan Barat lebih senang menyebutnya Hebron (‘Ibrani, Bhs Arab). Hingga kini penduduk asli lebih senang menyebutnya Al Khalil.
Kadang-kadang menyebutnya dengan nama yang lebih indah Khalilur Rahman.
Disanalah Nabi Ibrahim as. menetap bersama isterinya yang cantik dan shalilah, Sarah. Semoga Allah SWT melimpahkan sakinah, mawaddah wa rahmah kepada keluarga ini untuk selama-lamanya. Suasana itulah yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pisik dan kejiwaan anak, sebagai buah ikatan kekeluargaan.  Hingga usia kurang satu abad, Ibrahim bersama Sarah mendambakan keturunan (pelanjut perjuangan).
***
Dalam hadist, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa diantara 7 kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah Syaabun nasya’a fii ‘ibaadatillah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).
Sepanjang peradaban manusia, pemuda adalah pelopor. Berbagai perubahan terjadi di setiap bangsa, selalu digerakkan oleh pemuda. Di balik setiap transformasi sosial, juga ada anak muda. Ibarat sang surya, maka pemuda bagaikan sinar matahari yang berada pada tengah hari dengan terik panas yang menyengat. Yang menentukan fase kehidupan manusia sejak di janin, balita, kanak-kanak, dewasa dan masa tua adalah usia murahiq – masa muda - (antara 30-40), meminjam istilah ahli kepribadian. Berbagai bakat, potensi, kecenderungan, baik mengarah kepada kebaikan maupun kepada kejahatan memiliki dorongan yang sama kuatnya ketika pada masa muda. Itulah sebabnya, kegagalan dan keberhasilan seseorang, kematangan kepribadian manusia pada  masa tua ditentukan oleh masa mudanya.
Dalam al Quran pemuda menggunakan istilah ‘fatan’. Sebagaimana firman Allah SWT:
Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Al Anbiya (21) : 60).
Dalam Islam, dikenal bapak yang mengenalkan tauhid, dialah Ibrahim. Ia menegakkan nilai-nilai tauhid di tengah dominasi dan hegemoni paham paganisme, seorang diri. Bahkan bapaknya sendiri melawannya. Kalau bukan kesabaran dan keyakinan yang terpatri di dalam hati, mustahil misi suci ini bisa diwujudkan.
Sebagaimana kisah Ashabul kahfi pada surat Al Kahfi (18) ayat 10 dan 13.
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa : Ya Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-MU dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”
Karakteristik Pemuda Pejuang
Eksistensi dan perana pemuda sangat urgen. Dalam al-Quran ataupun hadits, banyak diucapkan karakteristik/jati diri sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses.
Pertama, memiliki keberanian (syaja’ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Katakanlah kebenaran walaupun rasanya pahit (al Hadits). Jihad yang paling tinggi adalah kalimat haq di depan pemimpin yang zalim (al Hadits). Lalu, siap bertanggung jawab serta menangung resiko ketika mempertahankan keyakinannya.
Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan “berhala-berhala” kecil, lalu dan menggantung kapaknya ke “berhala” yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak bisa mendatang manfaat dan menolak bahaya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surat al-Anbiya’[21] ayat 56-70.
Kedua, ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, ia menyadari betapa banyak ilmu yang belum diketahui. Semakin berilmu, semakin tunduk tauhidnya pada wahyu.
Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam binkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 25. Bukan berkelompok untuk mengadakan konspirasi jahat (makar). Atau berpikir yang aneh-aneh hanya untuk cari sensasi.
Para pemuda pejuang yang berkarakter ala Ibrahim, ia ingin berkelompok bukan untuk huru-hara atau tujuan yang tidak ada manfaatnya. Tetapi berkelompok dalam kerangka ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bersinergi dalam kebaikan dan ketakwaan). Bukan berkerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusilasi. Hal ini seperti kisah nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24.
Pemuda dengan tipe ini, bisa digambarkan pada sosok Nabiullah Yusuf yang tak tergoda nafsu,meski kesempatan ada. Yusuf tak mau meladeni  wanita (Zulaikha) yang terus menggodanya. Ketika Yusuf digoda, ia justru berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."
Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintanga dan hambatan. Ia memandang berbagai kesulitan adalah sebagai peluang untuk mengukir prestasi dan sarana kematangan jiwa. Seandainya menjadi manusia besar itu mudah, betapa banyak manusia yang terlahir sebagai pahlawan, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.
Hal itu diperagakan oleh sosok pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang untuk sukses hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-Amin (terpercaya) dari masyarakat.
Wahai pemuda, marilah kita ikuti perjalan sosok-sosok yang mengagumkan itu.
Wahai para orantua, tak ada salahnya, kita persiapkan anak-anak kita dalam tiper pemuda yang berkarakter itu. Merekalah sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam al-Quran dan Hadits. Mudah-mudahan mereka bisa menjado  sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia  masa kini dan masa depan. Wallahu a’lam bishshowab.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

kekutan bersuci

Bersuci adalah Tanda Keimanan Kita

 
Senin, 25 April 2011
HARI itu, jalanan padat merayap. Kepadatan terasa ketika banyak bus dari luar kota semuanya menuju tol arah Jakarta. Di tengah-tengan antrian kendaraan yang cukup panjang, tiba-tiba seorang supir bus dengan santainya keluar pintu meninggalkan penumpang dalam kondisi masih penuh.
Ia minggir di tepi jalan dan (maaf) mengeluarkan kemaluannya dan currrr, ia kencing sambil berdiri disaksikan ratusan mata. Dengan entengnya, dia lalu kembali ke bus tanpa membersikan najis.
Kasus seperi sang supir ini nampaknya bukan hal baru. Pemandangan seperti ini sudah sering kita saksikan di Negeri tercinta ini.
Padahal, ajaran Islam yang paling penting adalah bersuci. Bersuci merupakan salah satu ajaran Islam yang tidak boleh diremehkan. Banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul yang menjelaskan tentang hal ini. Di antaranya adalah firman Allah yang berbunyi;
وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُم بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"....Allah SWT tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu." [Q.S. Al Maidah: 7]
Ayat ini menjelaskan bahwa bersuci sama sekali tidak bertujuan membebani umat manusia, tetapi semata-mata hendak membersihkannya baik dari najis dan kotoran, maupun dari segala dosa.
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ariradhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci sebagai separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah: 1.Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
2.Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil (kencing) dan hadats besar (buang air). Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.  Meski berbeda pendapat dalam memaknai hadits tersebut, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud bersuci di sini meliputi lahir dan batin.
Bersuci secara lahiriah mungkin mudah kita lakukan, namun bersuci secara batin dari kotoran-kotoran mazmumah sebaliknya. Bukanlah perkara yang mudah bagi kita membersihkan hati dari perkara yang kotor, pikiran dari berbagai paham dan ideologi yang berasal dari barat ataupun dari timur.
Macam-macam Bersuci
Berikut dijelaskan tentang macam-macam bersuci yang telah disepakati di kalangan ulama.
Pertama, mensucikan lahir dari hadats, najis dan kotoran pada anggota badan dan pakaian. Hadats terdiri dari dua jenis yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Takrif hadats kecil ialah tiap-tiap yang mewajibkan kita berwudu  karena keluarnya sesuatu dari saluran najis,  baik dari depan maupun belakang. Sedangkan hadats besar adalah perkara yang mewajibkan mandi yang disebabkan keluarnya mani, keluar darah haid, kedatangan nifas dan pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan, walaupun tidak keluar mani.
Mandi yang dimaksudkan mempunyai syarat dan rukun tertentu, ada niat dan cara-caranya, dan juga dikatakan mandi disini adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh seperti firman Allah yang artinya: "Apabila kamu junub, maka hendaklah kamu bersuci." [QS: Al Maidah : 6]
Kedua, mensucikan anggota lahir dari dosa. Yang dimaksud di sini adalah tangan, mulut, mata, telinga, perut, kaki dan kemaluan. Semua anggota lahir hendaklah bersih dari perbuatan dosa. Memang bersuci seperti ini sangat sulit sekali. Mata umpamanya, sulit menghindar dari melihat perkara-perkara yang haram.
Keluar saja dari rumah untuk bekerja dan sebagainya sudah jelas disambut oleh pemandangan yang membuat mata berbuat dosa. Begitu juga dengan mulut, susah terhindar dari  membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti memfitnah, mengadu domba dan dosa-dosa lainnya. Demikian juga dengan anggota badan lain seperti tangan yang terkadang tidak terelakkan dari menyentuh benda-benda yang dilarang. Telinga pun demikian, setiap hari susah menghindari dari mendengar lagu-lagu pop yang menghayalkan dan perkara-perkara yang membuat setiap hari mendengar yang maksiat.
Ketiga, mensucikan diri dari sifat-sifat keji seperti riya’, ujub, hasad, dengki, gila pangkat, gila dunia, bakhil dan lain sebagainya. Bersuci di peringkat ini sangat sulit sekali, sifat-sifat inilah yang dikatakan sifat mazmumah. Kemudian kita juga harus membersihkan pikiran kita dari isme dan ideologi yang bertentangan dengan Islam. Bersuci pada tingkatan ini adalah bersuci yang berkaitan dengan perkara-perkara batin.
Itu sebabnya bersuci pada tingkatan ini lebih berat dibanding yang dua sebelumnya.  Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mensucikan hati dan akal pikiran dari penyakit-penyakit batin ini. Antara lain, harus memiliki ilmu agama yang cukup. Kemudian, harus ada azam dan cita-cita yang kuat untuk mengikis penyakit-penyakit itu. Inilah yang dikatakan mujahadatun nafsi. Kalau kita tidak ada azam dan cita-cita yang kuat, susah melawan hawa nafsu karena sebagian telah asyik kita amalkan.
Keempat, mensucikan batin dari selain Allah. Artinya mengarahkan pikiran dan hati hanya untuk Allah semata.
Orang yang mampu berbuat demikian berarti sudah memilki maqam atau kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Inilah darajat para Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul dan juga derajat bagi para Siddiqin atau orang-orang yang benar.
Agar melahirkan hal baik dan indah
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan Islam terbukti sebagai agama yang sangat peduli dengan masalah kebersihan. Begitu pedulinya, sampai sampai masalah adab buang air dan mandi pun dijelaskan dengan gamblang.
Bila dalam masalah adab buang air saja Islam telah membahasnya, maka mustahil perkara lain yang lebih besar dan lebih penting luput dari perhatian Islam.
Dari Salman (al Faarisiy), dia berkata: Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, "Sesungguhnya Nabi kamu itu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai sampai buang air besar!" Jawab Salman, "Benar!" (Hadits Shahih riwayat Muslim juz 1 hal. 154)
Ini satu sisi yang menunjukkan kelebihan Islam dibanding ajaran agama yang lain.
Yang  dikehendaki Allah bukan hanya suci lahir, namun juga suci secara batin. Allah berfirman, "Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan hatinya dan berdukacitalah orang yang mengotorkan hatinya." (As Syams: 9-10).
Namun sebelum suci batin, terlebih dulu hendaklah kita  suci dari lahir. Dengan bersuci dari kotoran-kotoran jasmani maka akan lahirlah orang-orang yang bersih.
Kalau kita tidak sensitif dengan kotoran-kotoran lahir, jiwa kita tidak akan halus. Jika kita tidak merasa jijik dengan benda-benda najis, berarti batin kita lebih tidak jijik dengan benda tersebut.
Rasulullah mengatakan, "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci." (HR. Muslim).
Apa amal kita di hadapan Allah, jika shalat kita tidak diterima? sungguh akan sia-sia dan merugilah kita.
Inilah Islam, yang sangat berhati-hati dalam urusan kesucian. Marilah kita mulai diri dan keluarga kita dengan masalah yang berhubungan dengan kesucian dan menjauhkan diri dari hal yang bersifat najis dan kotor.  Percayalah, kebersihan akan melahirkan sesuatu yang indah dan suci. Sebab mustahil hal yang suci melahirkan sesuatu yang kotor.
Jika hidup kita banyak masalah, anak kita menjadi sosok yang kurang taat dan susah diatur, istri suka membantah bahkan rezeki yang kita terima cepat habis dan  tidak barakah, maka, tak ada salahnya bertanya pada diri sendiri. Apa yang salah? adalah hal haram masuk ke tenggorokan kita? atau jangan-jangan semua itu bermula karena barang-barang najis atau hal-hal yang diharamkan Allah? wallahu a'lam.*/Sahid
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

kekutan silaturahmi

Sayangi Saudaramu, Jangan Biarkan Kehilangan Petunjuk

 
Rabu, 20 April 2011
SEBUAH kerusakan terjadi tatkalah keburukan itu didiamkan oleh orang yang berilmu. Hal ini yang terjadi di kalangan Bani Israil dahulu. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, Bani Israil kehilangan petunjuk ketika para ulamanya mulai melegalkan kemungkaran umatnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW  bersabda: "Ketika kaum Bani Israil sudah terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, para ulama mereka sesungguhnya telah memberi peringatan tentang larangan itu. Bani Israil tetap saja, dan para ulamanya  tidak berusa lagi menghentikan perbuatan mereka itu. Kemudian alim ulama tadi berkawan dengan mereka dalam duduk, makan dan minumnya, tidak peduli lagi dengan larangan itu dan menyetujui kemungkaran yang dilakukan mereka.
Karana itu Allah lalu memberi rasa saling membenci hati di antara mereka (ulama dan kaum Bani Israil) serta  melaknat mereka. Yang sedemikian itu adalah karana mereka telah melanggar aturan".
Kemudian Rasulullah SAW duduk dan bersandar, lalu meneruskan sabdanya: "Janganlah kamu seperti mereka. Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. Laknat itu pasti datang, sehingga engkau semua mengembalikan orang-orang yang berbuat kemungkaran itu kepada kebenaran yang sesungguh-sungguhnya." (HR. Turmudzi dan Abu Dawud).
Para ulama bani Israil itu terimbas kerusakan bahkan akhirnya jatuh di dalamnya, karena melegalkan kemaksiatan dan enggan menganjurkan perbuatan ma’ruf. Dari lisan dan perbuatan mereka itu tidak keluar kata-kata larangan sama sekali, sehingga para bani Israil kehilangan petunjuk (Maroh Labid Li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid Juz I hlm 287).
Pada mulanya para ulama itu telah memberi peringatan, akan tetapi mungkin mereka tidak istiqamah. Tapi justru lambat laun berkawan dan akhrinya membenarkannya. Itulah akibatnya jika ridla terhadap kemaksiatan dibiarkan terus dalam hati.
Seperti peringatan Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa ridla terhadap perbuatan kaum, maka dia bagian dari mereka.”(HR. Ibn Hajar dalam Mathalib al-‘Aliyah). Ridla terhadap kemaksiatan saudara tidaklah dapat diartikan kita menyayangi mereka.
Ridla dalam bentuk ini justru bukan cinta tapi sebaliknya, yaitu membencinya. Tidak mungkin kita jerumuskan pada kerusakan orang-orang yang kita cintai.
Sebab tanda mencintai sesama itu dengan saling berwasiat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. "Orang-orang mu'min lelaki dan orang-orang mu'min perempuan itu, setengahnya adalah kekasih setengahnya, kerana mereka memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran." (QS. al-Taubah: 71).

Etika Mencintai Saudara
Rambu-rambu Islam telah mengajarkan bahwa, hak dan kewajiban persaudaraan itu diikat oleh syari’ah. Dalam kitab Minhaj al-Muslim diatur etika persaudaraan yang didasari oleh rasa kemanusiaan dan keta’atan pada hukum. Di antara etika dan hak persaudaraan itu antara lain;
Pertama. Membantu dengan dana jika membutuhkan. Setiap saudara harus membantu saudaranya dengan dana jika saudaranya memerlukannya. Diriwayatkan, Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata;”Kalau begitu, pergilah engkau dari sini”.
Kedua. Mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya atau anak-anaknya, menanyakannya setidaknya dalam setiap tiga hari.
Ketiga. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya.  Tidak membongkar rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak berusaha mengetahui sumbernya.
Keempat. Menyeru saudaranya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran dengan lemah-lembut. Mengindari perdebatan yang mencelakakan. Mengeluarkan ucapan-ucapan yang kotor dan sebagainya.
Kelima. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya, menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum karena hal mi mencemarkan nama baiknya.
Imam Syafi'i r.a berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya”.(Dikutip dari Minhaj al-Muslim).

Menjaga Agama
Jadi, etika mencintai saudara yang benar itu adalah tidak hanya menjaga harta dan jiwanya tapi juga agamanya. Inilah bentuk kasih-sayang yang sesungguhnya. Jika hanya harta dan jiwa yang kita relakan sementara agama tidak diindahkan, maka kita sesungguhnya itu belum berkasih-sayang yang sebenarnya. Bahkan bisa sebaliknya.
Maka, menasehati dalam masalah agama merupakan bentuk kasih-sayang yang benar. Membetulkan yang salah, dan memberi tahu kepada yang masih awam.
Nasihat agama yang utama yang perlu kita sampaikan kepada saudara kita adalah nasihat yang berhubungan dengan hal-hal takwa kepada Allah SWT dan perkara akhirat.
Seperti yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya. Dari al-'Irbadh bin Sariyah r.a., katanya: "Kita semua diberi nasihat oleh Rasulullah SAW. berupa suatu nasihat sehingga karena mendengar nasihat itu semua hati kita menjadi takut dan semua mata dapat mengalirkan air mata." (HR. Tirmidzi dalam Riyadlu al-Shalihin hadis no. 700).
Menurut Imam al-Qurtubi, hubungan persaudaraan sesama muslim itu terbentuk dengan tiga faktor utama. Yaitu, dilandasi oleh rasa bersama seperti saudara senasab dalam kasih saying, kedua, tolong menolong dan saling membantu dan ketiga saling memberi nasehat agama (Khasyiyah al-Muwaththa dalam Kitab Khusnul Khuluq).
Faktor pertama dan kedua merupakan pilar yang didasari oleh rasa kemanusiaan. Sebagai satu darah dan satu jiwa. Dua aspek kemanusiaan ini kemudian disempurnakan dengan pilar ketiga, yaitu nasihat untuk menjaga agamanya.
Sebagai bentuk solidaritas yang memiliki  jiwa yang disatukan oleh iman. Ketiga-tiganya saling menguatkan dan berkesinambungan. Jika pilar ketiga itu hilang, maka hubungan persaudaraan itu menjadi kecintaan yang semu.
Tiga pilar standar dalam persaudaraan itulah yang menjadi salah satu elemen pertanda kesempurnaan iman. Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (yang sempurna) sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri dari kebaikan” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu, termasuk bagian dari pilar ketiga adalah membenci perbuatan saudaranya untuk berbuat kemaksiatan. Yang dibenci bukan persoanalnya akan tetapi perbuatan buruk itu. Maka, kita mesti berusaha mengeluarkan perbuatan itu dari kemaksiatan. Hal ini semua menunjukkan, cinta dan benci itu mestilah karena Allahbukan atas ego pribadi.
Seperti ungkapan Rasulullah SAW: "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas karena Allah SWT dan saling memusuhi karena Allah SWT, cinta karena Allah SWT dan benci juga karena-Nya." (HR. Bukhari). Maka, cintailah saudara dengan nasihat agama dan menolongnya dari kesesatan. Wallahu a’lam bisshowab.*/Kholili Hasib


Fiqh Imam Syafi'i (1)



Oleh : Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun

Bismillahirrohmanirrohiim

Pembukaan

I. Semua ulama’ memulai mengarang semua kitab dengan memakai Basmalah, karena di Al Qur’an pertama ayat yang turun adalah Basmalah di Surat Al Alaq yang artinya: “Bacalah wahai Muhammad dengan nama Tuhan yang menciptakan alam semesta” (Allahu a’lam bimurodihi) dan Rasulullah saw bersabda : “Setiap sesuatu perkara yang tidak dimulai dengan Bismillahirrohmanirrohiim (basmalah), maka akan terputus dari semua keberkahan yang ada artinya tidak mendapatkan rahmat dari Allah SWT, dan basmalah mempunyai hukum-hukum:

1. Wajib : seperti di shalat (kalau madzhab Syafi’i dan Hambali dengan jahar (lantang) dan Maliki dan Abu Hanifah dengan syir (cukup diri sendiri yang mendengarkan).

2. Haram : seperti minum sesuatu yang memabukkan, zina dan mencuri (semua pekerjaan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya).

3. Sunnah : semua pekerjaan yang sunnah (yang diperbolehkan oleh Allah dan rasul-Nya).

4. Makruh : semua pekerjaan yang hukumnya makhruh seperti makan bawang atau melihat auratnya sendiri atau auratnya istri dan anaknya.

5. Mubah : sesuatu yang dilakukan tidak mendapat pahala dan dosa), seperti memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.


II. Kemudian setelah memulai dengan basmalah, maka para ulama’ menambah dengan bacaan hamdalah (alhamdulillahi) yang artinya tidak ada sesuatu yang pantas dipuji selain Allah SWT, dan kalimat hamdalah sunnah diucapkan setelah melakukan semua pekerjaan yang baik, apabila dilakukan maka semua pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan ridho Allah SWT (direstui oleh Allah) seperti yang tertera dalam hadits rasulullah saw apalagi kalau diucapkan setelah mendapatkan rizki atau anugrah dari Allah SWT, maka rizki atau anugrah yang didapati akan diberi keberkahan dan ditambahkan oleh Allah SWT. Amiin.

Dan hamdallah dibagi menjadi 4 macam:

1. Pujian dari Allah SWT untuk Allah sendiri seperti yang ada dalam Surat Al Anfal ayat : 40 yang artinya: “Sungguh nikmatnya Tuhan dan sungguh nikmatnya penolong.

2. Pujian dari Allah SWT ke hamba-Nya seperti surat Shod ayat 30, yang artinya: paling bagus hamba yang selalu kembali kepada Tuhannya.

3. Pujian dari hamba ke Tuhannya (Allah SWT), seperti ucapan kita Alhamdulillahi.

4. Pujian dari diri kita untuk semua makhluk-Nya Allah seperti sungguh cantiknya kamu atau sungguh gantengnya dirimu.


III. Kemudian dilanjutkan dengan bershalawat kepada baginda nabi kita Muhammad saw. Sholawat adalah satu amalan yang diperintahkan dari Allah untuk semua makhluk-makhluk-Nya dan Allah SWT mengerjakannya. Seperti di dalam Surat Al Ahzab ayat : 56. Dalam semua kitab Fiqih dan sufi dengan rujukan hadits Rasulullah, menafsirkan kalau sholawat dari Allah SWT adalah rahmatan dari-Nya, dan shalawat dari kita (umatnya) adalah doa yang kita minta kepada Allah SWT untuk kesejahteraan Nabi Muhammad dan semua umatnya.

Rasul dan nabi adalah manusia yang sempurna yang jauh dari semua penyakit dan dari semua sifat yang jelek dan beliau diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran-ajaran Allah untuk semua makhluk-Nya dari golongan manusia dan jin. Hanya saja kalau nabi diberi wahyu tapi tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan ajaran-ajarannya, sedangkan rasul diberi wahyu tapi juga diperintahkan untuk menyebarluaskan semua ajaran-ajarannya. Adapun jumlah nabi ada 124.000 dan rasul ada 313. Akan tetapi yang mempunyai sifat yang lebih unggul ada 25 orang (seperti yang tertera dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Habban).


IV. Yang dimaksud wa alihi dalam shalawat adalah semua orang keturunan bani Hasyim dan Mutholib menurut yang dikatakan Imam Syafi’i di dalamkitabnya.


V. Shohabat adalah menurut Bahasa Arab artinya antara kamu dan dia saling ada kecocokan, dan menurut istilah teman yang selalu mengikuti kamu ditempat manapun dan selalu menuruti fatwa-fatwamu. Adapun yang kita bahas sekarang ini adalah shohabat Nabi kita Muhammad saw, adapun jumlah shohabat nabi ada 124.000 orang dan yang paling akhir meninggalnya adalah Abu Tufail Amir bin Wailah Al Laisyi (seperti yang dikatakan oleh Abu Zar’ah dan Al Iroq’i) dan semua shohabat Nabi Muhammad saw adalah adil dalam berbuat dan berhati-hati dalam melangkah dan selalu taat dan taqwa kepada Allah SWT dan rasul-Nya dan selalu menjaga dengan benar-benar dari segala perbuatan nista (buruk) bukan seperti (yang dikatakan sebagian golongan). Shohabat yang telah diberi kabar dengan keistimewaan (jaminan surga dari rasulullah) ada 10 orang, beliau adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Said bin Zaid, Tolkhah bin Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidilah bin Jarroh dan Abdurrahman bin ‘Auf dan paling dekat dengan Nabi Muhammad saw.

Dan juga dapat amanah penuh dan yang paling diutamakan dari golongan para shohabat nabi adalah khulafaur rasyidin beliau adalah:

1. Sayyidina Abu Bakar As Shidiq, beliau adalah shohabat yang pertama memimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dengan pilihan dari semua shohabat muhajirin (orang-orang Mekah) dan anshor (orang-orang Madinah) dan beliau memimpin 2 tahun 3 bulan 10 malam, beliau meninggal di umur 63 tahun, sebelum wafatnya beliau memilih Umar.

2. Sayyidina Umar bin Khattab, beliau memimpin yang kedua dengan perintah dari Sayyidina Abu Bakar dan beliau memimpin kurang lebih 10 tahun dan 23 hari dan beliau meninggal syahid (dibunuh dengan umur 63 tahun).

3. Sayyidina Utsman bin Affan, beliau memimpin yang ketiga dengan cara dipilih kebanyakan shohabat, setelah wafatnya Sayyidina Umar bin Khattab dan beliau memimpin selama 12 tahun dan beliau meninggal syahid (dibunuh) di umur 82 tahun.

4. Sayyidina Ali bin Abi Tholib, beliau memimpin yang keempat dengan cara dipilih kebanyakan shohabat setelah wafatnya Sayyidina Utsman bin Affan, dan beliau memimpin selama 4 tahun 9 bulan dan beliau meninggal dalam keadaan syahid (dibunuh) dan umurnya 63 tahun. Semoga Allah meridhoi mereka semua. Amiin.


Perlu kita ketahui bahwa semua shohabat nabi adalah yang telah berjasa bagi agama Islam dan telah menegakkan bendera Islam dengan diri mereka, harta, darah dan keluarga mereka, maka wajib bagi kita menghormati mereka semua karena mereka semua telah berjuang bersama nabi kita, mereka senang dan susah bersama nabi kita Muhammad saw dan perlu kita yakini bahwa Allah SWT tidak akan memilih manusia untuk bersama utusan-Nya kecuali yang pantas dan bersih. Kalau ada golongan yang menghina shohabat berarti mereka menghina rasulullah saw dan pasti mereka juga menghina Allah SWT yang menciptakannya.

Di dalam hadits rasulullah saw bersabda, yang artinya : Shohabatku bagaikan bintang-bintang di langit dan dengan siapapun engkau mengikutinya, maka engkau akan mendapatkan hidayah (petunjuk dari Allah SWT). Apakah mereka pantas dinamakan Islam??? Orang nasrani saja menghormati dan selalu memuliakan shahabat nabi Isa as, bagaimana dengan kita Umat Islam yang mengaku sebagai umat nabi Muhammad saw, apakah mungkin nabi kita tidak bisa mendidik shohabatnya menjadi orang yang paling taat dan taqwa kepada Allah SWT?? Kalau nabi Muhammad saw tidak bisa lalu siapa yang bisa?? Tidak mungkin ada yang bisa kalau nabi saja tidak bisa! Nabi Muhammad saw pasti bisa! Semoga kita dijauhkan dari faham-faham orang munafik yang selalu membenci nabi Muhammad saw dan para shohabatnya. Amiin, Amiin, Amiin ya Robbal ‘alamiin.


VI. Ijtihad madzhab : madzhab adalah sekumpulan ilmu-ilmu fiqih yang rujukannya Al Qur’an dan sebab-sebab turunnya, hadits-hadits dan sebab-sebab keluarnya hadits tersebut, mengapa kita harus bermadzhab? Karena agama Islam sangat luas dan mendalam, rujukan agama Islam adalah Al Qur’an dan bahasa Al Qur’an makna yang sangat luas sekali, tidak ada yang bisa menafsirkannya dengan benar kecuali nabi kita Muhammad s.a.w, dengan semua hadits-haditsnya (agwal dan af’al) dan dalam bahasa hadits itu sendiri mengandung makna yang sangat luas dan yang mengetahuinya hanyalah orang yang faham akan bahasa Arab (yang benar dan detil) dengan sebab-sebab keluarnya hadits itu, maka para ulama’-ulama’ kita dengan susah payah pikiran, tenaga, waktu dan harta dikorbankan untuk membentuk madzhab agar kita bisa menganal Islam lebih dalam dengan mudah tanpa harus susah payah, buang tenaga dan fikiran kita yang lemah, dan madzhab-madzhab yang diakui oleh kebanyakan ulama-ulama di dunia ada empat:

1. Madzhab Hanafi: yang mencetus adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, beliau adalah murid dari Imam Ja’far Shodiq, beliau lahir di Iraq Kota Kuffah pada tahun 80 H / 699 M, wafat tahun 150 H pada bulan Rajab dengan umur 68 tahun. Dan madzhab beliau diikuti sebagian umat Islam di Abu Dhobi dan lainnya. Dan beliau mempunyai murid yang banyak dan semua ulama’ dan diantaranya Imam Malik.

2. Madzhab Malik : yang mencetus adalah Imam Malik bin Anas bin Malik, beliau lahir di madinah tahun 95 H, wafat di Madinah 179 H / 789 M dan umurnya 84 tahun dan madzhab-madzhab diikuti sebagian umat Islam di Saudi Arabia dan lainnya dan beliau juga mempunyai murid-murid yang banyak dan semuanya menjadi ulama’ diantaranya Imam Syafi’i.

3. Madzhab Syafi’i : yang mencetuskan adalah Imam Muhammad bin Idris As Syafi’i, beliau lahir di Ghuzzah tahun 150 H, beliau hafal Al Qur’an 7 tahun, lalu beliau hafal muatthok (ilmu hadits karangan Imam Malik) di umur 10 tahun dan beliau diizinkan memberi fatwa di umur 15 tahun (berarti beliau sudah hafal semua ilmu termasuk Al Qur’an, tafsirnya hadits 9 sanad dan syarahnya, ushul balaghoh dan manteg dan lain-lain di umur yang sangat muda). Dan semasa hidupnya beliau selalu beribadah dan berdakwah dari Mekah, Madinah, Bagdad, dan Mesir kemudian mukim di Mesir sampai wafat, dan beliau wafat pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 240 H, beliau dimakamkan di kota Qorofah (Mesir) setelah Ashar dan umurnya 70 tahun. Dan murid beliau banyak sekali diantaranya Imam Ahmad bin Hambal dan madzhab beliau diikuti kebanyakan umat Islam, diantaranya di Indonesia dan lain-lainnya (mayoritas umat Islam yang di Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i) (rujukan kitab Mugni Mohtaj).

4. Madzhab Hambali: yang mencetuskan adalah Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani Al Maruzi beliau dilahirkan di Iraq tahun 164 H / 780 M, beliau adalah ulama’ hadits yang terkenal dan beliau termasuk ulama’ yang keras dan tegas dalam memberi keputusan, bahkan beliau dimasukkan penjara sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal tahun 241 H dan umur beliau 77 tahun.

Mengapa kita yang dalam masalah agama belum seberapa ini akan menyombongkan diri tidak mau bermadzhab dalam menjalankan syari’at Islam? Tentu tidak pada tempatnya! Benar bahwa berijtihad merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, namun hal itu bukan berarti sembarang orang Islam dapat berijtihad tanpa syarat-syarat tertentu. Seorang Islam dalam berijtihad harus paham betul syarat-syaratnya seperti syarat-syarat umum dalam berijtihad:

1. Islam

2. Dewasa

3. Sehat fikiran

4. Kuat daya tangkapnya dan ingatannya (I-Q nya tinggi) dan syarat-syarat pokoknya):
a. Menguasai Al Qur’an bersama ulumul Qur’an dan Asbabu Nuzulnya dan ayat-ayat hukumnya dan nasikh mansukhnya.
b. Menguasai hadits dan ulumul hadits dan asbab khurujul hadits dan hadits-hadits ahkam dan hadits-hadits nasikh mansuhknya dan lain-lain.
c. Mengusai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu bahasa termasuk nahwu. Shorof, balaghoh, Fiqhul Lughoh dan adabul jahili.
d. Menguasai ilmu ushul fiqih.
e. Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari’at-syari’at Islam.
f. Memahami benar-benar Qowaid kuliyah.
g. Kesholehan dan ketaqwaan yang benar dan bersih.
h. Jauh dari sifat-sifat yang keji (dholim) dhohir dan bathin, besar dan kecil, bagi semua manusia, jin bahkan hewan.
i. Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT (berdzikir) dan bersholawat kepada Rasulullah s.a.w. dll.

...baru mereka dibolehkan berijtihad, dalam ketentuan aturan kenegaraan saja membutuhkan keahliannya dalam bidangnya bagaimana dengan agama?! Dalam Surat An Nahl Allah berfirman, yang artinya : “Maka bertanyalah pada ahli ilmu bila kamu sekalian tidak mengetahui (An Nahl : 43), begitu pula orang dalam bertaqlid, orang boleh bertaqlid secara kafah (menyeluruh), jangan mengambil yang mudah dan seenaknya saja, seperti orang berwudhu menurut rukun madzhab Syafi’i tapi membatalkannya dengan memakai madzhab Maliki, seperti orang pakai baju setengah saja, lalu pakai celana setengah, bagaimana orang tersebut??? Semoga kita dijauhkan dari sikap munafik yang menjalankan agama yang enak dan mudah menurut hawa nafsunya.

(Rujukan kitab-kitab Fiqih, Tukfah, Minhaj, dll)

http://madadunnabawiy.blogspot.com/2009/07/fiqh-imam-syafii-1.html#comment-form