Selasa, 26 April 2011

la khauf

Antara Khauf dan Raja: Manakah Yang Kita Pilih?

 
Selasa, 26 April 2011
SECARA bahasa Khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut. Secara istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya:
1.    Pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya
2.    Pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan
3.    Mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Adapun raja` secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja' merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah SWT. Raja` juga bisa dimaknai sebagai berprasangka baik kepada Allah karena mengetahui luasnya rahmat dan kasih sayang-Nya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi raja` dalam 3 bagian. Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah raja` yang tercela. Yaitu:
1.    Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahala-Nya
2.    Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
3.    Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
Baik Khauf maupun raja` merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi seimbang. Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Pendek kata, dengan khauf dan raja` seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya, di samping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan.
Kedua sikap di atas harus dimiliki oleh seorang mukmin. Sikap ini menjadi ciri mukmin yang baik yang bisa menempatkan diri kapan ia harus berada pada posisi khauf dan kapan ia mesti berada pada posisi raja`.
Namun, Sayid Alwi bin Abbas Al Maliki menyatakan, “Bagi seorang pemuda ia lebih baik mengutamakan sikap al-khauf sebab nafsu syahwat di masa muda jauh lebih besar yang dikhawatirkan dapat menyeret pada perbuatan buruk jika tidak mengutamakan sikap tersebut.”
Mana yang Kita Utamakan?
Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mendatangi seorang pemuda yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut). Rasul bertanya kepada pemuda ini, “Bagaimana kamu mendapati dirimu?” Pemuda ini menjawab, “Aku mendapati diriku dalam keadaan takut atas dosa-dosa yang aku kerjakan sekaligus mengharapkan rahmat Tuhanku.”
Lantas nabi menjawab, “Tidaklah berkumpul dua perasaan di dalam hati seorang hamba, melainkan Allah berikan apa yang ia harapkan dan memberikan ketentraman dari hal yang khawatirkan.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘manakah yang lebih utama di antara sikap Al-Khauf dan Al-Raja` ? Pertanyaan ini sama seperti pertanyaan, ‘mana yang lebih enak, roti atau air?”
Jawabannya adalah, “Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga pernah ditanya dengan pertanyaan yang hampir senada. “Mana yang lebih utama untuk kita, rasa khauf atau raja`?”
Beliau menjawab, “Ketahuilah, bagi orang yang mempunyai hawa nafsu yang kuat dan mempunyai kecenderungan besar kepada kemaksiatan, maka khauf mesti ditekankan hingga ia kembali ke jalan yang lurus. Namun bagi orang yang akan meninggal, sikap Raja` harus lebih diutamakan agar ia tidak berburuk sangka kepada Allah. Sementara, bagi orang yang sehat raganya, istiqamah di jalan agama Allah, maka baginya yang paling utama adalah kesetaraan di antara sikap Khauf dan Raja` hingga menjadi layaknya dua sayap burung.”

Ali Akbar. Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

Senin, 25 April 2011

Karakter Muslim

Jadilah Pemuda Muslim yang Berkarakter

 
Selasa, 26 April 2011
oleh: Shalih Hasyim
ORANG mengulasnya sebagai  tokoh yang  mengharumkan dunia. Ia bukan saja milik ummat Islam, tetapi panutan kaum Yahudi dan juga Nasrani.  Abul Anbiya, Khalilullah, Ibrahim as.
Para pengamat sejarah purba berbeda pendapat tentang negeri asal Ibrahim (Abun Rahim, Bapak Yang Penyayang, Bhs Arab). Ada yang berpendapat  bahwa Ibrahim berasal dari kawasan masuk daerah Babilon Mesopotamia, diperkirakan 6000 tahun yang lalu. Pengamat sejarah lain bersepakat bahwa bapak pendobrak paham paganisme ini pada akhirnya  menetap di Palestina.
Beliau menetap di sebuah kota kecil bernama Al Khalil, 45 km sebelah barat daya Jerusalem. Kota kecil itu terletak di lambang Jabal Ar Rumaidah, kawasan dikenal sejuk dalam ketinggian 927 meter. Sebenarnya kota kecil itu tidak akan memiliki arti penting dalam lintasan sejarah sekiranya Nabi Ibrahim as. tidak berdiam di sana.
Ibrahim adalah  manusia besar. Untuk mengabadikan keharuman namanya, Allah SWT memberinya gelar Khalilullah atau Khalilur Rahman, artinya Kekasih Allah. Di kalangan orang Barat yang merujuk Bybel menyebutnya: "Abraham The Friend of God" (Ibrahim teman dekatnya Tuhan). Dari gelar ini kemudian menjadi nama kediamannya Al Khalil. Kepustakaan Barat lebih senang menyebutnya Hebron (‘Ibrani, Bhs Arab). Hingga kini penduduk asli lebih senang menyebutnya Al Khalil.
Kadang-kadang menyebutnya dengan nama yang lebih indah Khalilur Rahman.
Disanalah Nabi Ibrahim as. menetap bersama isterinya yang cantik dan shalilah, Sarah. Semoga Allah SWT melimpahkan sakinah, mawaddah wa rahmah kepada keluarga ini untuk selama-lamanya. Suasana itulah yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pisik dan kejiwaan anak, sebagai buah ikatan kekeluargaan.  Hingga usia kurang satu abad, Ibrahim bersama Sarah mendambakan keturunan (pelanjut perjuangan).
***
Dalam hadist, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa diantara 7 kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah Syaabun nasya’a fii ‘ibaadatillah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).
Sepanjang peradaban manusia, pemuda adalah pelopor. Berbagai perubahan terjadi di setiap bangsa, selalu digerakkan oleh pemuda. Di balik setiap transformasi sosial, juga ada anak muda. Ibarat sang surya, maka pemuda bagaikan sinar matahari yang berada pada tengah hari dengan terik panas yang menyengat. Yang menentukan fase kehidupan manusia sejak di janin, balita, kanak-kanak, dewasa dan masa tua adalah usia murahiq – masa muda - (antara 30-40), meminjam istilah ahli kepribadian. Berbagai bakat, potensi, kecenderungan, baik mengarah kepada kebaikan maupun kepada kejahatan memiliki dorongan yang sama kuatnya ketika pada masa muda. Itulah sebabnya, kegagalan dan keberhasilan seseorang, kematangan kepribadian manusia pada  masa tua ditentukan oleh masa mudanya.
Dalam al Quran pemuda menggunakan istilah ‘fatan’. Sebagaimana firman Allah SWT:
Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Al Anbiya (21) : 60).
Dalam Islam, dikenal bapak yang mengenalkan tauhid, dialah Ibrahim. Ia menegakkan nilai-nilai tauhid di tengah dominasi dan hegemoni paham paganisme, seorang diri. Bahkan bapaknya sendiri melawannya. Kalau bukan kesabaran dan keyakinan yang terpatri di dalam hati, mustahil misi suci ini bisa diwujudkan.
Sebagaimana kisah Ashabul kahfi pada surat Al Kahfi (18) ayat 10 dan 13.
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa : Ya Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-MU dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”
Karakteristik Pemuda Pejuang
Eksistensi dan perana pemuda sangat urgen. Dalam al-Quran ataupun hadits, banyak diucapkan karakteristik/jati diri sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses.
Pertama, memiliki keberanian (syaja’ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Katakanlah kebenaran walaupun rasanya pahit (al Hadits). Jihad yang paling tinggi adalah kalimat haq di depan pemimpin yang zalim (al Hadits). Lalu, siap bertanggung jawab serta menangung resiko ketika mempertahankan keyakinannya.
Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan “berhala-berhala” kecil, lalu dan menggantung kapaknya ke “berhala” yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak bisa mendatang manfaat dan menolak bahaya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surat al-Anbiya’[21] ayat 56-70.
Kedua, ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, ia menyadari betapa banyak ilmu yang belum diketahui. Semakin berilmu, semakin tunduk tauhidnya pada wahyu.
Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam binkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 25. Bukan berkelompok untuk mengadakan konspirasi jahat (makar). Atau berpikir yang aneh-aneh hanya untuk cari sensasi.
Para pemuda pejuang yang berkarakter ala Ibrahim, ia ingin berkelompok bukan untuk huru-hara atau tujuan yang tidak ada manfaatnya. Tetapi berkelompok dalam kerangka ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bersinergi dalam kebaikan dan ketakwaan). Bukan berkerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusilasi. Hal ini seperti kisah nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24.
Pemuda dengan tipe ini, bisa digambarkan pada sosok Nabiullah Yusuf yang tak tergoda nafsu,meski kesempatan ada. Yusuf tak mau meladeni  wanita (Zulaikha) yang terus menggodanya. Ketika Yusuf digoda, ia justru berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."
Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintanga dan hambatan. Ia memandang berbagai kesulitan adalah sebagai peluang untuk mengukir prestasi dan sarana kematangan jiwa. Seandainya menjadi manusia besar itu mudah, betapa banyak manusia yang terlahir sebagai pahlawan, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.
Hal itu diperagakan oleh sosok pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang untuk sukses hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-Amin (terpercaya) dari masyarakat.
Wahai pemuda, marilah kita ikuti perjalan sosok-sosok yang mengagumkan itu.
Wahai para orantua, tak ada salahnya, kita persiapkan anak-anak kita dalam tiper pemuda yang berkarakter itu. Merekalah sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam al-Quran dan Hadits. Mudah-mudahan mereka bisa menjado  sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia  masa kini dan masa depan. Wallahu a’lam bishshowab.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

kekutan bersuci

Bersuci adalah Tanda Keimanan Kita

 
Senin, 25 April 2011
HARI itu, jalanan padat merayap. Kepadatan terasa ketika banyak bus dari luar kota semuanya menuju tol arah Jakarta. Di tengah-tengan antrian kendaraan yang cukup panjang, tiba-tiba seorang supir bus dengan santainya keluar pintu meninggalkan penumpang dalam kondisi masih penuh.
Ia minggir di tepi jalan dan (maaf) mengeluarkan kemaluannya dan currrr, ia kencing sambil berdiri disaksikan ratusan mata. Dengan entengnya, dia lalu kembali ke bus tanpa membersikan najis.
Kasus seperi sang supir ini nampaknya bukan hal baru. Pemandangan seperti ini sudah sering kita saksikan di Negeri tercinta ini.
Padahal, ajaran Islam yang paling penting adalah bersuci. Bersuci merupakan salah satu ajaran Islam yang tidak boleh diremehkan. Banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul yang menjelaskan tentang hal ini. Di antaranya adalah firman Allah yang berbunyi;
وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُم بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"....Allah SWT tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu." [Q.S. Al Maidah: 7]
Ayat ini menjelaskan bahwa bersuci sama sekali tidak bertujuan membebani umat manusia, tetapi semata-mata hendak membersihkannya baik dari najis dan kotoran, maupun dari segala dosa.
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ariradhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci sebagai separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah: 1.Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
2.Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil (kencing) dan hadats besar (buang air). Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.  Meski berbeda pendapat dalam memaknai hadits tersebut, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud bersuci di sini meliputi lahir dan batin.
Bersuci secara lahiriah mungkin mudah kita lakukan, namun bersuci secara batin dari kotoran-kotoran mazmumah sebaliknya. Bukanlah perkara yang mudah bagi kita membersihkan hati dari perkara yang kotor, pikiran dari berbagai paham dan ideologi yang berasal dari barat ataupun dari timur.
Macam-macam Bersuci
Berikut dijelaskan tentang macam-macam bersuci yang telah disepakati di kalangan ulama.
Pertama, mensucikan lahir dari hadats, najis dan kotoran pada anggota badan dan pakaian. Hadats terdiri dari dua jenis yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Takrif hadats kecil ialah tiap-tiap yang mewajibkan kita berwudu  karena keluarnya sesuatu dari saluran najis,  baik dari depan maupun belakang. Sedangkan hadats besar adalah perkara yang mewajibkan mandi yang disebabkan keluarnya mani, keluar darah haid, kedatangan nifas dan pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan, walaupun tidak keluar mani.
Mandi yang dimaksudkan mempunyai syarat dan rukun tertentu, ada niat dan cara-caranya, dan juga dikatakan mandi disini adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh seperti firman Allah yang artinya: "Apabila kamu junub, maka hendaklah kamu bersuci." [QS: Al Maidah : 6]
Kedua, mensucikan anggota lahir dari dosa. Yang dimaksud di sini adalah tangan, mulut, mata, telinga, perut, kaki dan kemaluan. Semua anggota lahir hendaklah bersih dari perbuatan dosa. Memang bersuci seperti ini sangat sulit sekali. Mata umpamanya, sulit menghindar dari melihat perkara-perkara yang haram.
Keluar saja dari rumah untuk bekerja dan sebagainya sudah jelas disambut oleh pemandangan yang membuat mata berbuat dosa. Begitu juga dengan mulut, susah terhindar dari  membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti memfitnah, mengadu domba dan dosa-dosa lainnya. Demikian juga dengan anggota badan lain seperti tangan yang terkadang tidak terelakkan dari menyentuh benda-benda yang dilarang. Telinga pun demikian, setiap hari susah menghindari dari mendengar lagu-lagu pop yang menghayalkan dan perkara-perkara yang membuat setiap hari mendengar yang maksiat.
Ketiga, mensucikan diri dari sifat-sifat keji seperti riya’, ujub, hasad, dengki, gila pangkat, gila dunia, bakhil dan lain sebagainya. Bersuci di peringkat ini sangat sulit sekali, sifat-sifat inilah yang dikatakan sifat mazmumah. Kemudian kita juga harus membersihkan pikiran kita dari isme dan ideologi yang bertentangan dengan Islam. Bersuci pada tingkatan ini adalah bersuci yang berkaitan dengan perkara-perkara batin.
Itu sebabnya bersuci pada tingkatan ini lebih berat dibanding yang dua sebelumnya.  Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mensucikan hati dan akal pikiran dari penyakit-penyakit batin ini. Antara lain, harus memiliki ilmu agama yang cukup. Kemudian, harus ada azam dan cita-cita yang kuat untuk mengikis penyakit-penyakit itu. Inilah yang dikatakan mujahadatun nafsi. Kalau kita tidak ada azam dan cita-cita yang kuat, susah melawan hawa nafsu karena sebagian telah asyik kita amalkan.
Keempat, mensucikan batin dari selain Allah. Artinya mengarahkan pikiran dan hati hanya untuk Allah semata.
Orang yang mampu berbuat demikian berarti sudah memilki maqam atau kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Inilah darajat para Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul dan juga derajat bagi para Siddiqin atau orang-orang yang benar.
Agar melahirkan hal baik dan indah
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan Islam terbukti sebagai agama yang sangat peduli dengan masalah kebersihan. Begitu pedulinya, sampai sampai masalah adab buang air dan mandi pun dijelaskan dengan gamblang.
Bila dalam masalah adab buang air saja Islam telah membahasnya, maka mustahil perkara lain yang lebih besar dan lebih penting luput dari perhatian Islam.
Dari Salman (al Faarisiy), dia berkata: Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, "Sesungguhnya Nabi kamu itu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai sampai buang air besar!" Jawab Salman, "Benar!" (Hadits Shahih riwayat Muslim juz 1 hal. 154)
Ini satu sisi yang menunjukkan kelebihan Islam dibanding ajaran agama yang lain.
Yang  dikehendaki Allah bukan hanya suci lahir, namun juga suci secara batin. Allah berfirman, "Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan hatinya dan berdukacitalah orang yang mengotorkan hatinya." (As Syams: 9-10).
Namun sebelum suci batin, terlebih dulu hendaklah kita  suci dari lahir. Dengan bersuci dari kotoran-kotoran jasmani maka akan lahirlah orang-orang yang bersih.
Kalau kita tidak sensitif dengan kotoran-kotoran lahir, jiwa kita tidak akan halus. Jika kita tidak merasa jijik dengan benda-benda najis, berarti batin kita lebih tidak jijik dengan benda tersebut.
Rasulullah mengatakan, "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci." (HR. Muslim).
Apa amal kita di hadapan Allah, jika shalat kita tidak diterima? sungguh akan sia-sia dan merugilah kita.
Inilah Islam, yang sangat berhati-hati dalam urusan kesucian. Marilah kita mulai diri dan keluarga kita dengan masalah yang berhubungan dengan kesucian dan menjauhkan diri dari hal yang bersifat najis dan kotor.  Percayalah, kebersihan akan melahirkan sesuatu yang indah dan suci. Sebab mustahil hal yang suci melahirkan sesuatu yang kotor.
Jika hidup kita banyak masalah, anak kita menjadi sosok yang kurang taat dan susah diatur, istri suka membantah bahkan rezeki yang kita terima cepat habis dan  tidak barakah, maka, tak ada salahnya bertanya pada diri sendiri. Apa yang salah? adalah hal haram masuk ke tenggorokan kita? atau jangan-jangan semua itu bermula karena barang-barang najis atau hal-hal yang diharamkan Allah? wallahu a'lam.*/Sahid
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

kekutan silaturahmi

Sayangi Saudaramu, Jangan Biarkan Kehilangan Petunjuk

 
Rabu, 20 April 2011
SEBUAH kerusakan terjadi tatkalah keburukan itu didiamkan oleh orang yang berilmu. Hal ini yang terjadi di kalangan Bani Israil dahulu. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, Bani Israil kehilangan petunjuk ketika para ulamanya mulai melegalkan kemungkaran umatnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW  bersabda: "Ketika kaum Bani Israil sudah terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, para ulama mereka sesungguhnya telah memberi peringatan tentang larangan itu. Bani Israil tetap saja, dan para ulamanya  tidak berusa lagi menghentikan perbuatan mereka itu. Kemudian alim ulama tadi berkawan dengan mereka dalam duduk, makan dan minumnya, tidak peduli lagi dengan larangan itu dan menyetujui kemungkaran yang dilakukan mereka.
Karana itu Allah lalu memberi rasa saling membenci hati di antara mereka (ulama dan kaum Bani Israil) serta  melaknat mereka. Yang sedemikian itu adalah karana mereka telah melanggar aturan".
Kemudian Rasulullah SAW duduk dan bersandar, lalu meneruskan sabdanya: "Janganlah kamu seperti mereka. Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. Laknat itu pasti datang, sehingga engkau semua mengembalikan orang-orang yang berbuat kemungkaran itu kepada kebenaran yang sesungguh-sungguhnya." (HR. Turmudzi dan Abu Dawud).
Para ulama bani Israil itu terimbas kerusakan bahkan akhirnya jatuh di dalamnya, karena melegalkan kemaksiatan dan enggan menganjurkan perbuatan ma’ruf. Dari lisan dan perbuatan mereka itu tidak keluar kata-kata larangan sama sekali, sehingga para bani Israil kehilangan petunjuk (Maroh Labid Li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid Juz I hlm 287).
Pada mulanya para ulama itu telah memberi peringatan, akan tetapi mungkin mereka tidak istiqamah. Tapi justru lambat laun berkawan dan akhrinya membenarkannya. Itulah akibatnya jika ridla terhadap kemaksiatan dibiarkan terus dalam hati.
Seperti peringatan Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa ridla terhadap perbuatan kaum, maka dia bagian dari mereka.”(HR. Ibn Hajar dalam Mathalib al-‘Aliyah). Ridla terhadap kemaksiatan saudara tidaklah dapat diartikan kita menyayangi mereka.
Ridla dalam bentuk ini justru bukan cinta tapi sebaliknya, yaitu membencinya. Tidak mungkin kita jerumuskan pada kerusakan orang-orang yang kita cintai.
Sebab tanda mencintai sesama itu dengan saling berwasiat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. "Orang-orang mu'min lelaki dan orang-orang mu'min perempuan itu, setengahnya adalah kekasih setengahnya, kerana mereka memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran." (QS. al-Taubah: 71).

Etika Mencintai Saudara
Rambu-rambu Islam telah mengajarkan bahwa, hak dan kewajiban persaudaraan itu diikat oleh syari’ah. Dalam kitab Minhaj al-Muslim diatur etika persaudaraan yang didasari oleh rasa kemanusiaan dan keta’atan pada hukum. Di antara etika dan hak persaudaraan itu antara lain;
Pertama. Membantu dengan dana jika membutuhkan. Setiap saudara harus membantu saudaranya dengan dana jika saudaranya memerlukannya. Diriwayatkan, Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata;”Kalau begitu, pergilah engkau dari sini”.
Kedua. Mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya atau anak-anaknya, menanyakannya setidaknya dalam setiap tiga hari.
Ketiga. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya.  Tidak membongkar rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak berusaha mengetahui sumbernya.
Keempat. Menyeru saudaranya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran dengan lemah-lembut. Mengindari perdebatan yang mencelakakan. Mengeluarkan ucapan-ucapan yang kotor dan sebagainya.
Kelima. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya, menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum karena hal mi mencemarkan nama baiknya.
Imam Syafi'i r.a berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya”.(Dikutip dari Minhaj al-Muslim).

Menjaga Agama
Jadi, etika mencintai saudara yang benar itu adalah tidak hanya menjaga harta dan jiwanya tapi juga agamanya. Inilah bentuk kasih-sayang yang sesungguhnya. Jika hanya harta dan jiwa yang kita relakan sementara agama tidak diindahkan, maka kita sesungguhnya itu belum berkasih-sayang yang sebenarnya. Bahkan bisa sebaliknya.
Maka, menasehati dalam masalah agama merupakan bentuk kasih-sayang yang benar. Membetulkan yang salah, dan memberi tahu kepada yang masih awam.
Nasihat agama yang utama yang perlu kita sampaikan kepada saudara kita adalah nasihat yang berhubungan dengan hal-hal takwa kepada Allah SWT dan perkara akhirat.
Seperti yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya. Dari al-'Irbadh bin Sariyah r.a., katanya: "Kita semua diberi nasihat oleh Rasulullah SAW. berupa suatu nasihat sehingga karena mendengar nasihat itu semua hati kita menjadi takut dan semua mata dapat mengalirkan air mata." (HR. Tirmidzi dalam Riyadlu al-Shalihin hadis no. 700).
Menurut Imam al-Qurtubi, hubungan persaudaraan sesama muslim itu terbentuk dengan tiga faktor utama. Yaitu, dilandasi oleh rasa bersama seperti saudara senasab dalam kasih saying, kedua, tolong menolong dan saling membantu dan ketiga saling memberi nasehat agama (Khasyiyah al-Muwaththa dalam Kitab Khusnul Khuluq).
Faktor pertama dan kedua merupakan pilar yang didasari oleh rasa kemanusiaan. Sebagai satu darah dan satu jiwa. Dua aspek kemanusiaan ini kemudian disempurnakan dengan pilar ketiga, yaitu nasihat untuk menjaga agamanya.
Sebagai bentuk solidaritas yang memiliki  jiwa yang disatukan oleh iman. Ketiga-tiganya saling menguatkan dan berkesinambungan. Jika pilar ketiga itu hilang, maka hubungan persaudaraan itu menjadi kecintaan yang semu.
Tiga pilar standar dalam persaudaraan itulah yang menjadi salah satu elemen pertanda kesempurnaan iman. Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (yang sempurna) sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia mencintai untuk dirinya sendiri dari kebaikan” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu, termasuk bagian dari pilar ketiga adalah membenci perbuatan saudaranya untuk berbuat kemaksiatan. Yang dibenci bukan persoanalnya akan tetapi perbuatan buruk itu. Maka, kita mesti berusaha mengeluarkan perbuatan itu dari kemaksiatan. Hal ini semua menunjukkan, cinta dan benci itu mestilah karena Allahbukan atas ego pribadi.
Seperti ungkapan Rasulullah SAW: "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas karena Allah SWT dan saling memusuhi karena Allah SWT, cinta karena Allah SWT dan benci juga karena-Nya." (HR. Bukhari). Maka, cintailah saudara dengan nasihat agama dan menolongnya dari kesesatan. Wallahu a’lam bisshowab.*/Kholili Hasib


Fiqh Imam Syafi'i (1)



Oleh : Alhabib Shodiq bin Abubakar Baharun

Bismillahirrohmanirrohiim

Pembukaan

I. Semua ulama’ memulai mengarang semua kitab dengan memakai Basmalah, karena di Al Qur’an pertama ayat yang turun adalah Basmalah di Surat Al Alaq yang artinya: “Bacalah wahai Muhammad dengan nama Tuhan yang menciptakan alam semesta” (Allahu a’lam bimurodihi) dan Rasulullah saw bersabda : “Setiap sesuatu perkara yang tidak dimulai dengan Bismillahirrohmanirrohiim (basmalah), maka akan terputus dari semua keberkahan yang ada artinya tidak mendapatkan rahmat dari Allah SWT, dan basmalah mempunyai hukum-hukum:

1. Wajib : seperti di shalat (kalau madzhab Syafi’i dan Hambali dengan jahar (lantang) dan Maliki dan Abu Hanifah dengan syir (cukup diri sendiri yang mendengarkan).

2. Haram : seperti minum sesuatu yang memabukkan, zina dan mencuri (semua pekerjaan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya).

3. Sunnah : semua pekerjaan yang sunnah (yang diperbolehkan oleh Allah dan rasul-Nya).

4. Makruh : semua pekerjaan yang hukumnya makhruh seperti makan bawang atau melihat auratnya sendiri atau auratnya istri dan anaknya.

5. Mubah : sesuatu yang dilakukan tidak mendapat pahala dan dosa), seperti memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.


II. Kemudian setelah memulai dengan basmalah, maka para ulama’ menambah dengan bacaan hamdalah (alhamdulillahi) yang artinya tidak ada sesuatu yang pantas dipuji selain Allah SWT, dan kalimat hamdalah sunnah diucapkan setelah melakukan semua pekerjaan yang baik, apabila dilakukan maka semua pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan ridho Allah SWT (direstui oleh Allah) seperti yang tertera dalam hadits rasulullah saw apalagi kalau diucapkan setelah mendapatkan rizki atau anugrah dari Allah SWT, maka rizki atau anugrah yang didapati akan diberi keberkahan dan ditambahkan oleh Allah SWT. Amiin.

Dan hamdallah dibagi menjadi 4 macam:

1. Pujian dari Allah SWT untuk Allah sendiri seperti yang ada dalam Surat Al Anfal ayat : 40 yang artinya: “Sungguh nikmatnya Tuhan dan sungguh nikmatnya penolong.

2. Pujian dari Allah SWT ke hamba-Nya seperti surat Shod ayat 30, yang artinya: paling bagus hamba yang selalu kembali kepada Tuhannya.

3. Pujian dari hamba ke Tuhannya (Allah SWT), seperti ucapan kita Alhamdulillahi.

4. Pujian dari diri kita untuk semua makhluk-Nya Allah seperti sungguh cantiknya kamu atau sungguh gantengnya dirimu.


III. Kemudian dilanjutkan dengan bershalawat kepada baginda nabi kita Muhammad saw. Sholawat adalah satu amalan yang diperintahkan dari Allah untuk semua makhluk-makhluk-Nya dan Allah SWT mengerjakannya. Seperti di dalam Surat Al Ahzab ayat : 56. Dalam semua kitab Fiqih dan sufi dengan rujukan hadits Rasulullah, menafsirkan kalau sholawat dari Allah SWT adalah rahmatan dari-Nya, dan shalawat dari kita (umatnya) adalah doa yang kita minta kepada Allah SWT untuk kesejahteraan Nabi Muhammad dan semua umatnya.

Rasul dan nabi adalah manusia yang sempurna yang jauh dari semua penyakit dan dari semua sifat yang jelek dan beliau diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran-ajaran Allah untuk semua makhluk-Nya dari golongan manusia dan jin. Hanya saja kalau nabi diberi wahyu tapi tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan ajaran-ajarannya, sedangkan rasul diberi wahyu tapi juga diperintahkan untuk menyebarluaskan semua ajaran-ajarannya. Adapun jumlah nabi ada 124.000 dan rasul ada 313. Akan tetapi yang mempunyai sifat yang lebih unggul ada 25 orang (seperti yang tertera dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Habban).


IV. Yang dimaksud wa alihi dalam shalawat adalah semua orang keturunan bani Hasyim dan Mutholib menurut yang dikatakan Imam Syafi’i di dalamkitabnya.


V. Shohabat adalah menurut Bahasa Arab artinya antara kamu dan dia saling ada kecocokan, dan menurut istilah teman yang selalu mengikuti kamu ditempat manapun dan selalu menuruti fatwa-fatwamu. Adapun yang kita bahas sekarang ini adalah shohabat Nabi kita Muhammad saw, adapun jumlah shohabat nabi ada 124.000 orang dan yang paling akhir meninggalnya adalah Abu Tufail Amir bin Wailah Al Laisyi (seperti yang dikatakan oleh Abu Zar’ah dan Al Iroq’i) dan semua shohabat Nabi Muhammad saw adalah adil dalam berbuat dan berhati-hati dalam melangkah dan selalu taat dan taqwa kepada Allah SWT dan rasul-Nya dan selalu menjaga dengan benar-benar dari segala perbuatan nista (buruk) bukan seperti (yang dikatakan sebagian golongan). Shohabat yang telah diberi kabar dengan keistimewaan (jaminan surga dari rasulullah) ada 10 orang, beliau adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Said bin Zaid, Tolkhah bin Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidilah bin Jarroh dan Abdurrahman bin ‘Auf dan paling dekat dengan Nabi Muhammad saw.

Dan juga dapat amanah penuh dan yang paling diutamakan dari golongan para shohabat nabi adalah khulafaur rasyidin beliau adalah:

1. Sayyidina Abu Bakar As Shidiq, beliau adalah shohabat yang pertama memimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dengan pilihan dari semua shohabat muhajirin (orang-orang Mekah) dan anshor (orang-orang Madinah) dan beliau memimpin 2 tahun 3 bulan 10 malam, beliau meninggal di umur 63 tahun, sebelum wafatnya beliau memilih Umar.

2. Sayyidina Umar bin Khattab, beliau memimpin yang kedua dengan perintah dari Sayyidina Abu Bakar dan beliau memimpin kurang lebih 10 tahun dan 23 hari dan beliau meninggal syahid (dibunuh dengan umur 63 tahun).

3. Sayyidina Utsman bin Affan, beliau memimpin yang ketiga dengan cara dipilih kebanyakan shohabat, setelah wafatnya Sayyidina Umar bin Khattab dan beliau memimpin selama 12 tahun dan beliau meninggal syahid (dibunuh) di umur 82 tahun.

4. Sayyidina Ali bin Abi Tholib, beliau memimpin yang keempat dengan cara dipilih kebanyakan shohabat setelah wafatnya Sayyidina Utsman bin Affan, dan beliau memimpin selama 4 tahun 9 bulan dan beliau meninggal dalam keadaan syahid (dibunuh) dan umurnya 63 tahun. Semoga Allah meridhoi mereka semua. Amiin.


Perlu kita ketahui bahwa semua shohabat nabi adalah yang telah berjasa bagi agama Islam dan telah menegakkan bendera Islam dengan diri mereka, harta, darah dan keluarga mereka, maka wajib bagi kita menghormati mereka semua karena mereka semua telah berjuang bersama nabi kita, mereka senang dan susah bersama nabi kita Muhammad saw dan perlu kita yakini bahwa Allah SWT tidak akan memilih manusia untuk bersama utusan-Nya kecuali yang pantas dan bersih. Kalau ada golongan yang menghina shohabat berarti mereka menghina rasulullah saw dan pasti mereka juga menghina Allah SWT yang menciptakannya.

Di dalam hadits rasulullah saw bersabda, yang artinya : Shohabatku bagaikan bintang-bintang di langit dan dengan siapapun engkau mengikutinya, maka engkau akan mendapatkan hidayah (petunjuk dari Allah SWT). Apakah mereka pantas dinamakan Islam??? Orang nasrani saja menghormati dan selalu memuliakan shahabat nabi Isa as, bagaimana dengan kita Umat Islam yang mengaku sebagai umat nabi Muhammad saw, apakah mungkin nabi kita tidak bisa mendidik shohabatnya menjadi orang yang paling taat dan taqwa kepada Allah SWT?? Kalau nabi Muhammad saw tidak bisa lalu siapa yang bisa?? Tidak mungkin ada yang bisa kalau nabi saja tidak bisa! Nabi Muhammad saw pasti bisa! Semoga kita dijauhkan dari faham-faham orang munafik yang selalu membenci nabi Muhammad saw dan para shohabatnya. Amiin, Amiin, Amiin ya Robbal ‘alamiin.


VI. Ijtihad madzhab : madzhab adalah sekumpulan ilmu-ilmu fiqih yang rujukannya Al Qur’an dan sebab-sebab turunnya, hadits-hadits dan sebab-sebab keluarnya hadits tersebut, mengapa kita harus bermadzhab? Karena agama Islam sangat luas dan mendalam, rujukan agama Islam adalah Al Qur’an dan bahasa Al Qur’an makna yang sangat luas sekali, tidak ada yang bisa menafsirkannya dengan benar kecuali nabi kita Muhammad s.a.w, dengan semua hadits-haditsnya (agwal dan af’al) dan dalam bahasa hadits itu sendiri mengandung makna yang sangat luas dan yang mengetahuinya hanyalah orang yang faham akan bahasa Arab (yang benar dan detil) dengan sebab-sebab keluarnya hadits itu, maka para ulama’-ulama’ kita dengan susah payah pikiran, tenaga, waktu dan harta dikorbankan untuk membentuk madzhab agar kita bisa menganal Islam lebih dalam dengan mudah tanpa harus susah payah, buang tenaga dan fikiran kita yang lemah, dan madzhab-madzhab yang diakui oleh kebanyakan ulama-ulama di dunia ada empat:

1. Madzhab Hanafi: yang mencetus adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, beliau adalah murid dari Imam Ja’far Shodiq, beliau lahir di Iraq Kota Kuffah pada tahun 80 H / 699 M, wafat tahun 150 H pada bulan Rajab dengan umur 68 tahun. Dan madzhab beliau diikuti sebagian umat Islam di Abu Dhobi dan lainnya. Dan beliau mempunyai murid yang banyak dan semua ulama’ dan diantaranya Imam Malik.

2. Madzhab Malik : yang mencetus adalah Imam Malik bin Anas bin Malik, beliau lahir di madinah tahun 95 H, wafat di Madinah 179 H / 789 M dan umurnya 84 tahun dan madzhab-madzhab diikuti sebagian umat Islam di Saudi Arabia dan lainnya dan beliau juga mempunyai murid-murid yang banyak dan semuanya menjadi ulama’ diantaranya Imam Syafi’i.

3. Madzhab Syafi’i : yang mencetuskan adalah Imam Muhammad bin Idris As Syafi’i, beliau lahir di Ghuzzah tahun 150 H, beliau hafal Al Qur’an 7 tahun, lalu beliau hafal muatthok (ilmu hadits karangan Imam Malik) di umur 10 tahun dan beliau diizinkan memberi fatwa di umur 15 tahun (berarti beliau sudah hafal semua ilmu termasuk Al Qur’an, tafsirnya hadits 9 sanad dan syarahnya, ushul balaghoh dan manteg dan lain-lain di umur yang sangat muda). Dan semasa hidupnya beliau selalu beribadah dan berdakwah dari Mekah, Madinah, Bagdad, dan Mesir kemudian mukim di Mesir sampai wafat, dan beliau wafat pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 240 H, beliau dimakamkan di kota Qorofah (Mesir) setelah Ashar dan umurnya 70 tahun. Dan murid beliau banyak sekali diantaranya Imam Ahmad bin Hambal dan madzhab beliau diikuti kebanyakan umat Islam, diantaranya di Indonesia dan lain-lainnya (mayoritas umat Islam yang di Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i) (rujukan kitab Mugni Mohtaj).

4. Madzhab Hambali: yang mencetuskan adalah Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani Al Maruzi beliau dilahirkan di Iraq tahun 164 H / 780 M, beliau adalah ulama’ hadits yang terkenal dan beliau termasuk ulama’ yang keras dan tegas dalam memberi keputusan, bahkan beliau dimasukkan penjara sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal tahun 241 H dan umur beliau 77 tahun.

Mengapa kita yang dalam masalah agama belum seberapa ini akan menyombongkan diri tidak mau bermadzhab dalam menjalankan syari’at Islam? Tentu tidak pada tempatnya! Benar bahwa berijtihad merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, namun hal itu bukan berarti sembarang orang Islam dapat berijtihad tanpa syarat-syarat tertentu. Seorang Islam dalam berijtihad harus paham betul syarat-syaratnya seperti syarat-syarat umum dalam berijtihad:

1. Islam

2. Dewasa

3. Sehat fikiran

4. Kuat daya tangkapnya dan ingatannya (I-Q nya tinggi) dan syarat-syarat pokoknya):
a. Menguasai Al Qur’an bersama ulumul Qur’an dan Asbabu Nuzulnya dan ayat-ayat hukumnya dan nasikh mansukhnya.
b. Menguasai hadits dan ulumul hadits dan asbab khurujul hadits dan hadits-hadits ahkam dan hadits-hadits nasikh mansuhknya dan lain-lain.
c. Mengusai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu bahasa termasuk nahwu. Shorof, balaghoh, Fiqhul Lughoh dan adabul jahili.
d. Menguasai ilmu ushul fiqih.
e. Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari’at-syari’at Islam.
f. Memahami benar-benar Qowaid kuliyah.
g. Kesholehan dan ketaqwaan yang benar dan bersih.
h. Jauh dari sifat-sifat yang keji (dholim) dhohir dan bathin, besar dan kecil, bagi semua manusia, jin bahkan hewan.
i. Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT (berdzikir) dan bersholawat kepada Rasulullah s.a.w. dll.

...baru mereka dibolehkan berijtihad, dalam ketentuan aturan kenegaraan saja membutuhkan keahliannya dalam bidangnya bagaimana dengan agama?! Dalam Surat An Nahl Allah berfirman, yang artinya : “Maka bertanyalah pada ahli ilmu bila kamu sekalian tidak mengetahui (An Nahl : 43), begitu pula orang dalam bertaqlid, orang boleh bertaqlid secara kafah (menyeluruh), jangan mengambil yang mudah dan seenaknya saja, seperti orang berwudhu menurut rukun madzhab Syafi’i tapi membatalkannya dengan memakai madzhab Maliki, seperti orang pakai baju setengah saja, lalu pakai celana setengah, bagaimana orang tersebut??? Semoga kita dijauhkan dari sikap munafik yang menjalankan agama yang enak dan mudah menurut hawa nafsunya.

(Rujukan kitab-kitab Fiqih, Tukfah, Minhaj, dll)

http://madadunnabawiy.blogspot.com/2009/07/fiqh-imam-syafii-1.html#comment-form